“ Sunyi yang Kau Kirim Malam itu “


          Malam ini suara bising kerinduan mulai mengganggu. Belum lagi berita dari media perihal wabah yang datangnya seperti hantu, semakin menjadikan pahit mengingat malam itu atas belenggu pada sebuah ruang dalam dada. Hati itu tak mampu lagi kuramaikan. “Maaf beribu maaf” kataku, pada sepi yang kala itu mengajakku untuk melakukan ibadah ngopi dan wirid tembakau tanpa henti.

Seperti yang kau tahu, kasih. Pasrahku pada-NYA mungkin nampak sudah paripurna. Segala bait-bait puisi sudah genap merangkai kenangan yang dulu menuntut untuk ditenggelamkan. Segala kopi juga telah kuseduh tanpa gula, sebab dengan kau tumpahkan senyuman yang dulu telah kau titipkan pada waktu, dan telah kau kurirkan pada jarak yang semu. Kau kini kembali kirimkan kesunyian tanpa makna, serupa virus yang kirimkan penyakit tanpa iba.

Segala bentuk syair, puisi, notifikasi, dan chat tentangmu telah lama kutunggu. Bukan aku tak ingin memulai, tetapi aku sadar jika cinta itu tak seperti Hitler atau Musollini yang otoriter. Cinta itu adalah sebuah samudra, yang di dalamnya ada beragam spesies bernama kesadaran, perjuangan, kesabaran, serta kenangan. Semuanya berpasangan dan selalu beriringan. Jika ada predator ganas, spesies itu bernama kecemburuan, kebosanan, berjuang sendiri dan ada juga yang bernama ketidakpercayaan. Selama ini semua predator itu bukanlah halanganku. Sudah pasti dapat kulalui dengan ritual ngopi, menggelar puisi dan menghadirkan kenangan bersamamu.

Aku dengan pasrah menunggu, karena telah lama belum ada radar rindu darimu, hingga aku lupa bahwa perjuangan revolusi yang kujalani itu terlalu jauh sendiri. Katamu “Biar kita seperti ini saja hingga sang waktu memberi restu”. Kalimat manis yang tak mengalahkan manisnya senyummu itu masih saja kupertahankan hingga malam sunyi kala itu. Setelah berdamai dengan diri sendiri, aku menyadari bahwa perjalanan cinta tak dapat cukup hanya seperti itu. Hanya sekedar bercanda tanpa ada makna; aku yang berpuisi, engkau tersipu sambil haha-hihi; dan ketika aku ingin mendengar suara Tuhan dengan washilah menyimak suaramu, engkau pun kadang mengelak dengan alibi yang segan tapi terasa menyakitkan.

***
Kasih, engkau yang melangitkan namaku. Begitu pula aku yang melangitkan namamu. Memang sungguh syahdu kala sepi ritual itu kujadian candu. Tetapi dalam perjalanan mengarungi samudra luas, kita tak cukup dengan se-idealis itu. Terkadang kita harus realistis menghadapi segala kenyataan yang ada. Kita bukan wali ataupun nabi yang setiap perkataannya bisa dibuktikan dengan kenyataan. Kita hanya setetes sperma yang berhasil meraih juara dari sperma lain yang berlomba memasuki garis finish di rahim ibu.

Kita sudah berencana untuk menjadikan kisah kita yang bermula beberapa tahun silam untuk dijadikan sebuah novel. Namun sebuah novel tak akan tersirat makna jika isinya hanya puisi oleh satu orang dan isi lainnya hanyalah doa-doa yang seharusnya menjadi keintiman kita pada Tuhan. Sempat aku bertanya “Apakah harus kusudahi segala ini?” seperti seorang tentara yang mengusir penjajah, semua pikiran itu ku lawan dan berhasil menjauh sejauh-jauhnya. Sebab, aku tak mampu jika hanya bertahan dengan sepi sambil memandangi chat-room darimu pada ponselku yang mana namamu telah kusematkan dengan penghayatan.

Hingga saat waktu gelisah tiba, segala tombol keberanian diantara kita telah kita tekan, segala resah pun kita sampaikan. Meskipun kita sama-sama merinaikan hujan di sepasang mata kita, engkau dan aku saling mengadukan keganasan dari predator samudra cinta yang bernama; berjuang sendiri. Atas nama jarak, kita ikrarkan rindu bersama dalam dimensi suara tanpa rupa. Setelah itu kita kembali berjumpa dalam dunia lain yang kita sebut dengan doa.

***
            Penjelajahan kita pada samudra kembali berjalan dengan semestinya. Kuseduh lagi kopi tanpa gula, sebab chat darimu sudah melebihi madu yang kunikmati kala senja di ufuk barat dengan rona merah jingga begitu mempesona. Itu semua terkalahkan oleh chat darimu yang kandungannya 90% senyumanmu dan 10%  tulisan. Begitu sakral dan fenomenal bagi seorang pejalan sunyi di samudra cinta. Tetapi maaf, aku terkadang menduakanmu dengan tugas priorotas dari universitas. Tak apalah kiranya, kurasa kita sudah memasang rambu “maklum” sejak awal kita ber-jarak dan ber-waktu.

            Beberapa purnama telah kita lewati bersama dengan mengatasnamakan rindu yang jika secara logika tak mengandung proposisi-proposisi memadai, tetapi itu semua sudah mendarah daging pada makhluk yang bernama kangen. Meskipun tak setiap hari kita realistis, tapi setiap saat masih ada si idealis yang membawa pesan-pesan suci pada Tuhan yang mana Jibril telah menyiapkan baris-baris untuk kita saksikan jika nanti waktu sudah habis. Bagiku, aku terlalu egois dengan keindahan-MU Tuhan.
            Hingga pada suatu waktu ngopi, kudengarkan pula deretan kenangan melintasi pahit kopiku. Sambil kulihat wajahnya yang terpantul dari cangkir kopi itu. Ternyata pada malam ini sungguh perasaanku sedang kelabu. Aku sadar, bahwa cinta tak dapat dipaksakan; Bahwa sunyi juga berhak mendapat kedaulatan tanpa intervensi dari kekasih; Bahwa kopi juga menuntut untuk diberi gula yang realistis. Oh rindu, Malam ini sungguh aku harus bersaksi bahwa kesunyian dan kekasih itu tak sama. Dan pada malam ini kurasakan kehadiran:

“SUNYI YANG KAU KIRIM MALAM ITU”

Kepada Tuhan yang cintanya melebihi segala cinta, ampunilah segenap rindu yang tak tahu diri dan lindungilah seluruh ego yang tak kenal sunyi. Kuhaurkan pula semoga wabah pada tahun ini tak kenal kata tabah hingga ia menyerah sebelum keadaan semakin parah. 

-Fiktif Belaka-  


Yogyakarta, 29 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

Sajak darah tinggi

Malam