Malam

 

Gambar diambil di Baciro, Yogyakarta, 23 Agustus 2020. Pukul 02.53

Beberapa tahun terakhir, rasanya kehidupan saya semakin absurd. Pola hidup ideal−malam beristirahat, siang beraktivitas−seperti malu, bahkan jijik untuk berdamai dengan saya. Dengan perkecualian: ada jadwal kuliah, ada kerjaan, ataupun ada janji terhadap seseorang yang harus ditunaikan pada saat siang hari. Selain itu, semua aktivitas, selagi bisa, saya kerjakan malam hari.

Entah mengapa, saya seperti merasa phobia matahari. Seakan-akan malam adalah waktu paling ideal untuk beraktivitas, seperti; melamun, menulis, atau apapun itu yang tentunya selalu ditemani oleh cangkir-cangkir kopi yang usang.

Belakangan ini, saya sedikit mengerti mengapa malam memang selalu istimewa dan nyaman. Selain mengandung kesunyi-senyapannya yang paripurna, ternyata malam adalah salah satu nama waktu yang dijadikan Tuhan sumpah dalam Al-Qur’an.

Setelah membaca tulisan Gus Usman Arrumy dalam buku “Anjangsana,” saya semakin tercerahkan, bahwasanya: Manusia bersumpah dengan menyebut nama Tuhannya. Sedangkan Tuhan sendiri bersumpah dengan nama malam. Hal ini benar-benar terbukti, jika anda sekalian membuka Juz 30 dalam Al-Quran, pasti ada surat yang namanya “Al-Lail” (demi malam).

Tak cukup itu, keistimewaan malam juga pernah disinggung oleh Sang Pengayom, Sang Pencerah, dan Kekasih Tuhan yang masyhur namanya, yakni KH. Zaini Abdul Ghani, atau yang sering kita sebut Guru Sekumpul. Beliau mengatakan−kalau tidak salah begini ujarnya: Terbangunlah saat jam 2 malam, sebab pada saat itu para wali Allah berkumpul.

Maksudnya adalah, kita terbangun agar setidaknya mendapatkan keberkahan dari para wali Allah. Indah sekali, bukan? Entah harus bagaimana lagi saya menggambarkan, betapa kuatnya wibawa makhluk yang dinamakan malam tersebut.

Saya pribadi merasakan malam−khususnya jam 1 dini hari sampai waktu fajar−merupakan waktu yang sangat intim untuk melakukan hubungan terhadap diri sendiri. Perasaan yang saya rasakan adalah, berdaulatnya diri saya yang benar-benar saya. Tanpa tedeng aling-aling topeng kemunafikan, tanpa perlu memakai jubah ini dan itu. Saya, ya, saya. Bukan saya sebagai A, sebagai B, apalagi sebagai ABCD. Pokonya, saya yang 'saya' sekali, tak terdefinisikan, tak tertafsirkan, tak pula terpuisikan. Sebab saya yang 'saya' adalah hakikat puisi itu sendiri.

Pada malam hari pula, saya teramat serius mengimani jarak. Sehingga apapun yang berkaitan dengan rindu seperti ingin mendeklarasikan eksistensinya terhadap semesta diri saya. Persoalan rindu ini merupakan satu hal yang sangat fundamentalis. Sebab, ujian manusia pertama (baca: Nabi Adam) saat diturunkan ke bumi adalah merindu. Ya, merindukan sosok Hawa yang terpisah jarak−yang tak satu setan pun tahu ukuran jarak pada saat itu.

Segala jenis kerinduan menghampiri saya pada saat malam. Rindu-rindu yang berasal dari kenangan hingga pada puncak kerinduannya, saya hanya bisa bergumam dalam hati, “Aku kangen semuanya!” begitulah, setiap malam selalu berulang-ulang, tak pernah merasa insecure pada realita, apalagi pada wajah rembulan.

Mungkin segini dulu, deh. Lain malam, akan terus saya propagandakan puncak rindu, alias kangen yang sebegitu dahsyatnya membombardir relung jiwa saya. Tanpa terasa, jiwa saya berserakan menjadi puing-puing yang berhasil diutuhkan oleh puisi. Sekali lagi, terima kasih, malam. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, puisi. Dan terima kasih kepada huruf yang menjelma kata-kata, yang semuanya terangkum indah pada senyum kekasih.

Yogyakarta, 26 Agustus 2020

*Tulisan ini termasuk dalam kategori tulisan saya sebelumnya yaitu Catatan 'Wagu' dan Ndak Perlu, yang akan terus bersambung sampai saya larut dalam ketiadaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

Sajak darah tinggi