Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

 Semacam Filterisasi Hoax tentang Pandemi

Oleh Fajar Sidik

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Selayang Pandang Jurgen Habermas

Jurgen Habermas lahir di Gummersbach pada tanggal 18 Juni 1929 (Zuhri, 2004). Ia adalah filosof sekaligus sosiolog masyhur di Jerman. Sebetulnya penisbatan filosof dan sosiolog ini jauh dari derajat lengkap (cukup) untuk mewakili sosok sehebat Habermas, mengingat dirinya menguasai hampir segala bidang keilmuan sosial humaniora, semisal ilmu hukum, ilmu politik, sejarah, kajian budaya, sastra, dan lain sebagainya (Cusdiawan, 2020).

Pergumulannya dengan dunia filsafat pertama kali ia dapatkan dibangku perkuliahan universitas Gottingen. Kemudian ia kembali menekuni filsafat di universitas Bonn (kota Zurichk) dan berhasil memperoleh gelar doktor bidang filsafar disana setelah ia tuntas menyusun dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolute und die Geschiechte (yang absolut dan sejarah). Disertasi tersebut diserapnya dari pikiran-pikiran Heidegger (Atabik, 2013).  

Dua tahun pasca keberhasilannya menyabet gelar doktor, tepatnya tahun 1956, Habermas mulai berkenalan dengan Die Frankfurter Schule (madzhab Frankfurt) sebab ia ditugaskan untuk menjadi asisten Adorno dalam sebuah penelitian yang diadakan lembaga (Frankfurt) tersebut (Ulumuddin, 2006). Sejak saat itu juga ia dikenal sebagai pengikut madzhab Frankfurt atau lebih rincinya teori kritis Frankfurit generasi kedua. Adapun pendahulunya (generasi pertama) adalah Theodor Adorno dan Max Horkheimer. Dituturkan Zuhri lewat karyanya “Hermeneutika dalam Pemikiran Habermas” (2004), selain banyak dipengaruhi pemikiran madzhab Frankfurt, Habermas juga banyak menyerap pikiran-pikiran Sigmund Freud, terlebih psikoanalisanya, yang mana konsep psikoanalisa Freud ini tercatat sebagai pemantik kemunuculan konsep khas hermenutika Habermas, yakni Teiffenhermeneutik, dept hermeneutic, metahermeneutic, dan atau critcal hermeneutic.

Ada satu kisah pilu (disatu sisi) sekaligus luar biasa (disisi lainnya) dari kehidupan Habermas yang bisa dijadikan pelajaran berharga untuk kita semua. Habermas terlahir dengan kondisi fisik yang kurang sempurna, ia menderita bibir sumbing, namun menurutnya justru keterbatasan fisik tersebut menjadi pendorong terbesar untuknya agar produktif dalam menulis, baginya tulisan memiliki kekuatan dan derajat lebih untuk dipercayai (Cusdiawan, 2020). Begitulah, bagaimana keterbatasan fisik Habermas justru menjadi penggerak semangatnya untuk memaksimalkan segala potensi (pikiran) yang pada akhirnya melambungkan namanya di dunia pendidikan sampai saat ini. Darinya kita paham bahwa keterbatasan fisik bukanlah sebuah penghalang seseorang untuk berfikir lebih, mencari dan memaksimalkan potensi diri.

Habermas dan Teori Kritisnya

Sebenarnya teori kritis ini tidak lahir dari Habermas, melainkan dari salah satu tokoh generasi pertama madzhab Frankfurt, yakni Max Horkheimer (Zuhri, 2004). Secara sederhana teori ini dapat dimaknai sebagai keharusan kembali menelaah dan menguji segala konsep, pengetahuan, dan atau pemikiran yang telah dianggap mapan. Adapun pada awalnya, konsep ini dijadikan sebagai dobrakan sekaligus kritik terhadap konsep-konsep yang disampaikan kaum positivistik-kapitalistik yang pada kenyataannya apa yang disampaikan mereka tidak lagi mampu menjawab berbagai problematika kehidupan yang dihadapi masyarakat saat itu. Teori kritis yang diprakarsai Horkheimer inilah yang kemudian teramat mempengaruhi pemikiran hermeneutika Habermas, terlebih untuk menelisik makna (bahasa) sebuah paragraf, sebuah kalimat, juga kata.

Dalam tulisan Zuhri (2004) yang bertajuk “Hermeneutika dalam Pemikiran Habermas” nampak jelas bahwa jalan untuk menjejaki hermeneutika Habermas amat banyak, salah satunya adalah lewat uraian-uraian kritiknya terhadap pengusung hermeneutik filosofis, Hans George Gadamer. Sebagaimana dituturkan Cusdiawan (2020) dengan mengutip penjelasan Thompson ia menerangkan bahwa Habermas mengkritik Gadamer yang terlalu fokus pada proses pemahaman dan pemaknaan sesuatu, tanpa ia sadari bahwa proses pemahan sendiri berpeluang terdistorsi (dikendalikan/dipengaruhi) berbagai kepentingan sehingga hasilnya tak lagi murni melainkan sudah terimbuhi sesuatu yang lain, dan bahkan asing sama sekali.

Habermas sependapat dengan Gadamer tentang definis hermeneutik sebagai refleksi dan kesadaran kritis (mengikat makna sesuatu). Oleh sebab itu, tidak seharusnya seorang interpretator berhenti pada proses memaknai saja, melainkan musti mengevaluasi hasilnya, menguji kembali simpulannya (Hardiman, 2015). Lebih rinci, Habermas meyakini bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang netral, melainkan rentan ditunggangi berbagai kepentingan, terlebih kekuasaan (Cusdiawan, 2020).

Pada perkembangannya, perjumpaan Habermas dengan teori mimpi (sebuah bahasan psikoanalisa Freud) menjadikan teori kritis Habermas ini seakan dipermatang sekaligus dilegitimasi olehnya. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa tak jarang manusia terdistorsi satu sensor yang mendominasi diri manusia saat bermimpi, jelas ini semakin menegaskan bahwa dalam kesadaran dan bahkan ketaksadaran sekalipun, manusia selalu berpeluang terdistorsi, terkendalikan dan dikendalikan, terpengaruhi dan dipengaruhi.

Dari uraian yang telah dipaparkan, tentu akan sangat menarik jika kacamata hermeneutika kritis Habermas ini digunakan untuk memilah warta-berita tentang pandemi covid-19 yang saat ini tak terkendali, tak terkendali virusnya, juga tak terkendali validitas segala berita terkaitnya. 

Kebal Hoax Jalur Hermeneutika Kritis; Mikrochip dalam vaksin, Benarkah ?

Kebijakan pemerintah yang mewajibkan vaksin untuk seluruh warga masyarakat mendapat sambutan yang beragam, sebagain mengiyakan, manut atas keputusan tersebut dengan atau tanpa alasan, sedang sebagiannya menolak, terutama mereka yang beranggapan covid-19 ini tak nyata dan sebatas konspirasi belaka; ada juga yang menolak vaksin serentak sebab dirasa memberatkan, setelah sebelumnya mereka menderita dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang selama ini menyulitkan perekonomian mereka. Mereka takut jika kebijakan vaksin serentak ini juga akan berdampak buruk pada kehidupan mereka nantinya. Dari sinilah, berita-berita terkait covid-19 terlebih tentang vaksin simpang-siur bermunculan, mulai dari berita yang berkredibel dan valid sampai yang serampangan, keduanya tumpang-tindih menyebar masif dilingkungan masyarakat. Salah satu yang terhangat adalah berita tentang vaksin yang disinyalir mengandung mikrochip.

Berita tentang vaksin bermikrochip ini amat mudah ditemui, baik dalam media cetak, portal berita online, bahkan dalam media sosial sekalipun. Dilansir dari portal berita hoax-buster covid-19berhatilah-hatilah umat muslim Indonesia, vaksin yang diprogram pemerintah kita (Indoneisa) sebetulnya telah ditanami mikrochip dari Amerika, yang mana dengannya kita dapat dibunuh oleh remote-remote yang dikendalikan penguasa, program tersebut dijalankan untuk mengurasi populasi manusia didunia”. Berita tersebut banyak dipercayai khalayak sebab dalam sebuah video yang diunggah diplatform youtube, ada seorang wanita yang ketika ia menempelkan uang lima ratus rupiah ditubunya, uang tersebut menempel, dan hal tersebut terjadi pasca dirinya menjalani vaksin. Wanita tersebut menyatakan bahwa itu adalah bukti bahwa vaksin covid-19 mengandung mikrochip, mengingat mikrochip identik dengan magnet sebagai media penempatannya. Sebetulnya berita seperti ini terdengar amat konyol ditelinga kaum intelektual, namun tidak demikian bagi khalayak awam, mereka khawatir, dan mereka percaya. Mari kita gunakan teori kritis Habermas untuk mengklarifikasi keresahan ini.

Sebagaimana ditekankan Habermas bahwa kebermaknaan sesuatu selalu berpeluang terdistorsi (dikendalikan, dipengaruhi) oleh berbagai kepentingan. Oleh karenanya perlu pengevaluasian dalam setiap konsep, informasi, pemikiran, dan berita (dalam konteks ini) untuk mendapatkan simpul akhirnya, benar tidaknya. Dalam kasus ini, tak ada cara lain untuk menguji validitas berita vaksin bermikrochip tersebut selain mengakses pendapat-pendapat ahli kesehatan dan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas penuh dibidangnya.

Mengutip pendapat dr. Stephen Schrantz, seorang dokter spesialis penyakit menular di University of Chicago Medicine “pada dasarnya vaksin tersusun akan protein, lipid, garam, air dan bahan kimia lain yang ditujukan untuk menjaga PH darah dalam tubuh manusia, tentang kemungkinan lengan manusia menjadi memiliki daya magnet pasca menjalani vaksinasi jelas tipuan, tidak berdasar sama sekali”. Kemudian pendapat lain dari dr. Siti Nadila, jubir vaksinasi covid-19 Indonesia mengatakan “uang lima ratus rupiah yang menempel dalam video yang sekarang tersebar bisa saja menempel karena keringat, lagian uang lima ratus rupiah itu terbuat dari nikel, dan nikel tidak bereaksi tarik-menarik dengan magnet, kalo mau nipu pinter dikit dong!” (Rokom, 2021).

Lewat pengkajian ulang (berita) sebagaimana yang ditawarkan Habermas untuk mencapai titik kebermaknaan final, jelas bahwa vaksin bermikrochip adalah kebohongan, hoax semata. Penyebaran berita tersebut pastilah ditunggangi kepentingan-kepentingan tertentu.

Melalui ulasan hermeneutika Habermas dalam teks opini ini, saya harap seluruh warga masyarakat tidak lagi menelan segala berita yang tersebar secara mentah-mentah, tak hanya berita seputar pandemi saja, saya harap seluruh warga masyarakat membiasakan sikap kritis dalam mencerna segala jenis pemberitaan dan informasi yang saat ini mudah disebar luaskan. Mari menjadi warga masyarakat yang cerdas dan komunikatif!.           

Daftar Pustaka

Atabik, Ahmad. 2013. Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas. Jurnal Fikrah, Vol. 1, No. 2

Cusdiawan. 2020. Hermeneutika Jurgen Habermas dan Relevansinya dalam Kehidupan Demokrasi. Artikel Filsafat MJS Colombo.

Hardiman, Budi. 2015. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleimacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius.

Rokom. 2021. Hoax: Vaksin Covid-19 Mengandung Mikrochip Magnetis. Portal berita Kementrian Keseharan: Sehat Negeriku. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id

 Ulumuddin. 2006. Jurgen Habermas dan Hermeneutika Kritis. Jurnal Hunafa, Vol. 3, No. 1.

Zuhri. 2004. Hermeneutika dalam Pemikiran Habermas. Jurnal Refleksi, Vol. 4, No. 1.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sajak darah tinggi

Malam