Covid-19 yang Membuka Mata Hati
Saudaraku
semua...
Dunia kini sedang tidak baik-baik
saja. Seluruh penghuni bumi sedang berada dalam fase panik, depresi, bahkan
berangan-angan tentang kematian yang sudah pasti akan dihadapi. Kebutuhan sandang,
pangan dan papan perlahan mulai enggan bersahabat dengan manusia. Ketika virus
yang tak kasat mata itu menghantui, kita dihadapkan oleh realita bahwa sekaya
apapun manusia tetap tak akan mampu melawan. Jangankan melawan, untuk melihat
virus itu dengan kasat mata pun mustahil kita lakukan.
Disaat seperti ini, kita bukan lagi
berperang untuk merebut kekuasaan dan meributkan inca-binca politik. Bukan lagi
soal omnibus law, peperangan di jalur gaza, maupun persoalan gedung Putih dan
Timur Tengah. Ini persoalan kemanusiaan! Kemanusiaan di seluruh dunia kini
terusik oleh suatu hal tak kasat mata. Sebuah wabah yang sangat tak
berperikemanusiaan. Saat seeorang terserang, tak ada keluarga yang bisa
mendampingi disampingnya. Lebih parahnya, saat kematian menghampiri akibat virus
tersebut, keluarga tak bisa menatap wajahnya untuk terakhir kali. Pemakaman tak
diperkenankan dengan beramai-ramai. Apa bedanya dengan seseorang yang tewas di
medan perang? Yang mayatnya diurus sendiri oleh orang-orang di medan perang.
Tahun 2020 ini kita semua sedang
berperang! Peperangan yang lebih sulit daripada perang salib, perang dunia
pertama & kedua, dan perang Diponegoro. Kita semua dihadapkan pada masalah
serius dan dituntut untuk bersatu tanpa memandang agama, ras, ideologi, maupun
gender. Pada masalah ini, yang terpenting adalah perihal kau, aku dan kita sama
sebagai MANUSIA. Bukan saatnya pula jika di negara Indonesia yang saat ini
virus Corona mulai merajalela, lalu kita menyalahkan pemerintah yang lambat
dalam mengambil kebijakan, ataupun menyalahkan individu yang tetap abai
terhadap adanya wabah ini.
Ini memang sudah sepatutnya
terjadi, sebab waktu tak bisa diulang dan sejarah tak akan sama meski konsepnya
tak jauh beda. Percuma buang-buang waktu untuk mengkritisi pemerintah maupun
individu yang tak memahami akan bahayanya wabah ini. Pada fase seperti ini,
kita sepatutnya untuk “Meruang-mewaktu” membaca situasi dan kondisi. Membantu
menyadarkan, bukan menambah kepanikan. Satu kalimat yang menurut saya sangat
indah saat ini perlu kita fahami lagi bahwa “Tuhan tak pernah menciptakan
sampah”. Sepandai apapun seorang sejarawan, dukun maupun peramal mereka tak
mampu menjelaskan apa yang akan terjadi esok dan lusa nanti dengan fakta yang
real. Mungkin hanya beberapa orang yang telah diberikan kemampuan oleh yang
maha kuasa dapat mengetahui apa yang akan terjadi. Tapi itu semua tidak valid
dan spesifik.
Kasus semacam ini mengajarkan kita
semua bahwasanya ada unsur yang memiliki ketidakterbatasan pada semesta. Tuhan,
itulah yang maha paripurna. Kita tak lagi mampu menganggap bahwa Tuhan selalu
ada di tempat-tempat yang suci seperti tempat ibadah. Kini kita mampu memahami
Tuhan dengan kemanusiaan. Kemanusiaan yang saling perhatian, kemanusiaan yang tak pandang bulu, kemanusiaan yang saling
mengerti jika ada manusia kelaparan, dan kemanusiaan yang ramai dalam
kesunyian. Mari kita bangun keramaian kita dalam kesunyian. Keramaian dalam
gejolak kita, keramaian yang memberi makna pada kemanusiaan. Untuk bisa
merasakan keramaian itu, hadapi kesunyian!
Dalam kesunyian, kita hadapkan diri
kita pada realita yang sedang terjadi melalui media yang telah kita saksikan. Kita
rasakan bagaimana terpukulnya perasaan mereka yang sedang berperang melawan
pandemik luar biasa ini. Sudah pasti jika kita renungkan mendalam rasa
kemanusiaan itu, kita akan sampai pada puncak perenungan kita. Puncak dari
segala puncak, purna dari segala purna; Tuhan. Mari kita renungkan bersama
kembali
Diluar sana banyak yang masih saja
berinteraksi sosial, berjalan tanpa tahu arah, meniti kehidupan dengan segala
harapan. Itu semua dilakukan dengan segala resiko demi keberlangsungan hidup
untuk dirinya sendiri, anak dan istrinya dirumah. Yang memprihatinkan lagi
masih banyak diluar sana orang yang hanya beratapkan langit dan beralas bumi. Bukankah
itu semua yang lebih menyengsarakan daripada kita yang hanya diam dirumah,
masih bisa makan esok, tanpa pusing memikirkan nanti bisa tidur atau tidak.
Begitu pula pada kalangan medis
yang menangani korban dari wabah ini. Siang malam tak mampu memandangi senyum
keluarganya, tak ada kesempatan untuk sekedar bersantai bersama kawan maupun
keluarga sembari bercengkrama merasakan kehangatan kasih sayang. Hari-harinya
dihadapkan pada kepanikan dengan situasi yang mencekam. Lagi-lagi tak dapat disangkal
bahwasanya yang sangat urgent bagi keberlangsungan hidup ini adalah soal
kemanusiaan.
Perihal ini datangnya bukan
mengenai wabah Covid-19. Mewabahnya kepanikan itulah kelemahan mayoritas umat
manusia. Karena menghadapi kepanikan, kita lupa dengan segala yang lebih
penting untuk kita lakukan agar penularan wabah ini tak membabi buta. Hampir setiap
sosial media memberikan informasi yang sedikit mengganggu psikis kita. Kita hingga
dilema dengan satu sisi negatif dan melupakan bahwasanya sebelum adanya
pelangi, pasti ada mendung gelap yang tak sedap. Hal demikian mengingatkan saya
pada petuah dari Kyai Mustafid, pengasuh PPM Aswaja Nusantara Yogyakarta. Dalam
story sosial media beliau menuliskan:
“Nak, tahukah kamu, cerita tentang hujan? Hujan di mana-mana sama: mengguyur bumi dengan air yang segar. Hujan jadi penawar palawija yang dahaga. Penyejuk bumi nan kerontang. Dinanti para petani yang mau menanam padi. Namun hujan menjadi petaka bagi petani bawang merah yang mau panen raya. Menjadi mimpi buruk bagi petani tembakau yang menanti menua. Itulah hakekat peristiwa, hakekat ujian, karunia sekaligus bencana, rahmat sekaligus azab, kemudahan sekaligus kesulitan, kekuatan sekaligus kelemahan. MATA-HATIMU MENANGKAP APA NAK, DARI MUSIBAH INI?”
Semua manusia pasti memiliki hati,
buka mata hati kita. Dibalik keadaan dunia yang sedang tak baik-baik saja,
pastilah ada sesuatu yang akan menjadikan masa depan mejadi baik-baik bahkan
lebih baik. Sejenak tinggalkan kepanikan. Ajaklah sepi menjadi temanmu meski
sebentar saja. Kita tangkap pelangi-pelangi dalam tirai yang masih belum
terungkap. Mata hati biarkan melihat segalanya agar segalanya menjadi i’tikad
baik yang kuat.
Tak ada yang perlu dirisaukan. Kita
hanya perlu kehati-hatian, pencegahan, dan pendekatan terhadap kemanusiaan. Untuk
semua saudaraku yang membaca tulisan ini, marilah kita bersatu memperjuangkan
kemerdekaan dari pedihnya perang ini. Perang ini masih belum selesai, bahkan
belum benar-benar berlangsung. Perang sesungguhnya akan berlangsung ketika tak
ada lagi mata hati dan sunyi yang melangitkan bait-bait pengobat kecemasan dan
ketika tak ada lagi rasa persamaan bahwa kita semua sama-sama manusia.
Semoga diberikan yang terbaik dari
semua ini. Panjang umur untuk hal-hal merenungi kemanusiaan, panjang umur untuk
pejuang kemanusiaan dan kemanusiaan itu sendiri. Serta panjang umur untuk
keberlangsungan hidup yang penuh ketenangan.
Untuk saudaraku semua, semesta dan
pemiliknya membersamai kita.
ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ menyentuhnya sekalii
BalasHapusSemoga lekas membaik
BalasHapusYa Allah... Smga qt trmasuk orng yang bertaqwa..
BalasHapusAamiin ya Allah.
Hapus