Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2019

Ratap Bulan Baru

Bulan baru telah tiba tanpa salam Hujan berikan pertanda jika bulan lalu perlu diratapi Sebagai seutas kisah kelam Juga sebagai seruan perpisahan di tahun depan yang entah akan kembali Kucurahkan padamu, Tuhan. Hari pertama pada bulan ini disambut dengan keramatnya Jum'at Diawali dengan tangisan semesta yakni hujan Tersapu oleh curhatan di penghujung bulan. Izinkan Oktober pergi dengan penuh cerita Sambutlah November dengan segala doa Entah doa itu ditolak atau diterima Disela-sela dosa, kuhaturkan salam padanya Nologaten, 1 November 2019

Munajat Seorang Peronda (3)

Wahai pemilik kedua bola mata Mataku, mata mereka semua serta mata-mata yang syahdu terbuka Tiada kata yang mampu mewakili indahnya malam pengobat luka Luka yang terjerembab pada relung rindu Luka yang tak mampu terjahit oleh aksara penuh debu Luka itu, ya. Luka sejarah yang penuh duka. Sampaikanlah pada pemilik bola mata ini, wahai angin. Terangkanlah pada jurang kegelapan hati, wahai rembulan. Sinarilah pada acuhnya kekasih, wahai bintang. Peronda semesta senantiasa berdoa dan berduka Peronda semesta senantiasa berdosa dan bersuka Ada rindu pada mata ronda Jombang, 19 Okt 2019

Munajat Seorang Peronda (2)

Kupanjatkan senandung jalanan Pada Tuhan yang membangun megah selambu percintaan Kepada mata yang kelopaknya tak mengatup Kepada hembusan asap yang tertiup Tersusun rapi oleh ratapan doa sang pendosa Terbelit lupa dari ketiadaan alpa Terhasut kusut yang tak kenal rebut Esok hari atau lusa nanti Kini semua untaian kata bukan lagi puisi Kembali pada cangkir kopi kupasrahkan Pada tembakau kini kuceritakan Apakah kertas tahu ia harus berkorban? Apakah pena tau ia harus tergoreskan? Wahai pemilik mata mata yang terjaga Jangan buka sekat pada kopi yang tak bergula! Jln. Jogja-Jombang, 18 Okt 2019

Munajat Seorang Peronda

Demi Adam yang rindu belaian Hawa Aku mengesakan-Mu Yang Maha Kuasa Tak ada kantuk pada detik ini Ibadahku dengan iftitah puisi Hamba bertawassul pada secangkir kopi Serta lintingan tembakau dengan asapnya yang mengitari Berharap pada asap surgawi mencaci maki bidadari duniawi Tuhan… Maafkan hamba yang kali ini tak sanggup sendiri Selalu ada saja makhluk yang mengikuti Dilahirkan dari persetubuhan rindu dan mati Makhluk itu dikaruniai nama Sepi Tuhan… Ampuni hamba yang tak sanggup lagi meneruskan bait puisi Barangkali napas ini sudah mewakili goresan pena yang menjelma udara tanpa tepi Tuhan… Jika hamba tak diberikan umur panjang Ridailah hamba dengan meronda pada keheningan tanpa malam dan siang Berikanlah hamba intuisi dari tembakau dengan nyala apinya yang terang Serta asap putihnya menjadi washilahku temui para pejuang Yogyakarta, 17 Oktober 2019

Para Hamba Tuhan

Saat susah, kulihat mereka mengadu pada Tuhan Doa tak henti-hentinya dipanjatkan Begitu pula tenaga yang selalu dikerahkan Hingga otak lama-kelamaan dimatikan. Saat susah, kulihat mereka selalu taat beribadah Masjid, kuil, gereja dan tempat peribadatan sesak serta dan basah Pemuka agama dijadikannya tempat berkeluh kesah Pemimpin menjadi tempat menyuarakan segala resah. Tapi, Saat senang, mereka menjadi tuhan Mengadili tanpa belas kasihan Tak ada arti lagi kemanusiaan Hancur sudah segenap asa masa depan. Saat senang, mereka enggan memasuki ruang ibadah Pemuka agama didatanginya agar pangkat naik dengan mudah Dibuatnya pola agar rakyat gelisah Mereka pun bahagia diatas rakyat yang berdarah Yogyakarta,  8 Oktober 2019

Sajak darah tinggi

Memasuki liang malam Suram nan muram pula Oh kekasih Jarak dan waktu memang memisahkan Satuan rindu selalu tak berima Disana kah kau adinda? Entah dirimu hanya nyayian, getaran, bahkan sebagian dari hidupku Tapi itu semua omong kosong yang terus tabu Bila belum mampu kuberikan mahar di hadapan orang tuamu Bila kau meneteskan air mata Aku lah air yang kau teteskan tulus dari matamu Bila lisan tak mampu lagi berbicara Bila puisi tak mampu lagi menceritakannya Maka biarlah air mata yang berbicara Tak ada kejujuran mutlak yang bersuara jika bukan air mata Tak ada pula curahan hati yang mampu berdiri diatas bara kerinduan jika bukan bait puisi Dengan ini, ku tuliskan dengan hasrat penyair berdarah tinggi Yogyakarta, 09 September 2019

Resah tak Berdesah

Menyusuri jalanan kota Jogja Bercumbu dengan sebatang rokok surya Merokok yang katanya mematikan Ooooo...  Hahahahaha Suara cengingikan dua orang pelacur yang berjalan di depanku Sambil memegang rokok pula, Tuhan Allah dan yesus telah di kudeta oleh kapitalis yang mempropaganda anti rokok. Batang demi batang Aku dengan mata sayu bagai layunya kembang Lewati kesendirian dengan celoteh kemesraan para pekerja selangkangan... Langit? Waaaahhhhh...  Dia tengah lelap dalam pemerkosaan sang bintang. Vaginanya pun robek oleh sang awan Tak ada lagi kata siang.. Malam.. Dan hanya malam Kutemui diriku yang lebam Oleh kisah kasihmu di masa kelam Yogyakarta, 1 September 2019

Iblis, pemuda, Tuhan

Rayu rayu haru Tiba sunyi datang pilu Atas segala cumbu kenangan Seakan hadir dengan malaikat penyiksa insan Kekasih hadir, tuhan pergi melipir "Dasar pemuda tolol! " Iblis menghujat penuh laknat Kesempatan kala itu yang nikmat "Mengapa tak kau salurkan dengan syahwat! " "Perkosa saja kekasihmu" "Dia melebarkan selangkangan rela untukmu, tolol" Khayalan itu sepintas menerka Beri ilusi tanpa suara Kekasih kala itu, hanya rangkaian bait aksara Yang hilang dengan coretan pena Nampaknya tuhan lebih berpihak Iblis pun tertawa terbahak-bahak Antara vagina dunia yang semu Terbegal desir vagina surga yang akan ku temu Ruang 301, 11 September 2019

Milik Siapa

Sejak kecil kita diberi makanan yang namanya dusta "Indonesia tanah air beta" Sejak kita lahir dogma itu sudah dipaku Tanah air yang harus dibeli Bukan milik beta! Ternyata milik negara "Tanah tumpah darahku" Dinyanyikan setiap upacara bendera Tumpah darah ku, katanya Darah tumpah oleh pemilik negeri Hahahaha..... Siapa pemilik negeri? Mereka yang berdasi dan berpakaian rapi Gemar diskusi apalagi soal materi "Indonesia bersatu" Bersatu korupsinya? Bersatu mafianya? Rakyat berseteru dengan TNI Apakah pemerintah tak tunjuk gigi? TNI menjaga negara atau menunggu gaji? Begitu tega melawan rakyat bangsa ini sendiri Ini Indonesia Ini Nusantara Milik rakyat bersama Bukan milik penguasa dan pengusaha Samping Rel ambarukmo, 13/09/2019

Tangis

Menangis? Ibu yang letih itu bernama pertiwi Ditunggangi oleh komponen masyarakat, rakyat, serta wakil-wakilnya. Nama wakil kami bergelimpangan pada pamflet dipinggir jalan. Setelah foto kepalanya banyak yang menusuk, ia pun bersuka ria. Wakil rakyat! Suara rakyat didengarkan, rakyat diayomi, dan segala kenutuhan rakyat dicukupi, harusnya sih. Itu hanya ekspetasi! Cerita lama seperti dunia fantasi. Realitanya parah Banyak yang bertumpah darah Semakin resah dan gerah. Asap kematian dan bau ruh terbakar. Menebar pada selembar tisu Tisu tisu agraria Yang dibuang lalu ada lagi. Belum lagi halmahera Milik pribumi atau cina? Ketika mengambil sebongkah kayu Untuk memasak sepiring nasi Lalu dipidanakan Tuhan dilupakan Ikatan dengan yesus juga terputus Nasionalismenya yang over Na(z)ionalisme jadinya Fasisnya hidup Pemerintah berkuasa Lahan terbakar KPK mati! Bangkit dan bergentayanganlah!!! Yogyakarta, 19.09.19

Aksi Tuhan

Dengan menyebut nama tuhan… Aku bersaksi tiada kenikmatan selain selangkangan Tempat paling mulia yang dimaksud tuhan Serupa music di acara pemerintahan Berdansa dan menari di kubangan setan Ia mengaku diberi mandat oleh tuhan semesta alam Tuhan – tuhan itu berteriak ketika di lupakan Utusan tuhan sudah lupa mengenai tuntutan Ketika tidur pulas dengan selangkangan Suatu ketika, para tuhan rapat berkonsolidasi Interpretasikan utusannya yang sakit buta dan tuli Gejala lupa juga menikam utusan yang dulunya bertakwa Sebelum diangkat,utusan itu sangat santun dan dermawan, tak lupa janji manis terpanjat pada bir berbau doa Telah terlihat jiwa malaikatnya yang menyiksa kubur Tuhan yang mati itu tak berdosa, ditendangnya hingga tersungkur Tuhan yang menanam ganja Darussalam, dirusaknya hingga tak subur Tuhan yang menangkap tikus, dijatuhkannya secara terstruktur Tuhan – tuhan itu merasa resah Hingga lupa cara membuat lontenya mendesah Utusan tuhan kian hari m...

Waktu

Gambar
Dulu, Saat aku berada di fase yang rendah Segala huruf dapat kugubah menjadi sebuah puisi tanda resah. Kini, Saat aku berada di fase itu Dari huruf A sampai Z tak alangnya bagaikan sampah yang tak berguna untuk diperbaharu. Dulu kini,  Berbeda dengan segala ceritanya Tak ada yang bergerak pada porosnya Hanya bualan semata Yogya, 30 Oktober 2019

Pencipta Baru

Gambar
Aku adalah tuhan... Yang menciptakan dunia dari A sampai Z Yang menciptakan makhluk bernama tulisan Yang memberi nyawa pada setiap bait kata Aku adalah tuhan... Yang diciptakan oleh Tuhan dengan "T" besar Yang menjadi tuhan dengan "t" kecil Yang menjadi pengatur dari yang tak teratur Aku adalah tuhan... Telah kuciptakan semesta bernama "puisi" Telah kuangkat utusanku bernama "judul" Telah kurahmati hambaku bernama "huruf" Aku adalah tuhan... Yang berkuasa atas segala sajak Yang murka atas segala gejolak Yang menjelma menjadi syair puncak Dan, Aku adalah tuhan... Yang selalu dirahmati oleh Tuhan Yang menghamba pada Tuhan Yang sedang ber-Tuhan tuhan yang ber-Tuhan tuhan ciptaan Tuhan Yogyakarta, 28 Oktober 2019

Bukan puisi

Gambar
Aku tahu.. Cinta itu ada karena untaian doa yang tak terpandang. Cinta ada karena dua hati yang tak saling merenggang. Cinta ada karena Tuhan menciptakan insan dengan penuh kasih sayang. Aku tahu.. Dari cinta menjadikan ada mantra rahasia diatas sajadah. Diatas sajadah yang diam, ku haturkan rasaku dengan segala pasrah. Dari cinta, ku tahu arti resah. Tapi, Aku tak tahu... Cinta yang berubah menjadi luka. Mengapa bersatu jika cinta hanya lah kata-kata. Bahkan kebanyakan akan membawa duka. Aku tak tahu... Entah Tuhan cemburu melihat hambanya bercinta. Ataukah Tuhan sedang bermain dengan nafsu yang dimiliki insan dunia. Dari segala yang ku tahu, bertajuk ketidak tahuan yang menjadi derita. Dan kini.. Entah tahu atau tak tahu. Aku tak ingin kembali menjadi pilu. Yogyakarta, 30 Oktober 2019

Jum'at

Hari Jumat dengan panasnya yang menyengat Ada jutaan umat yang hendak bermunajat Entah mencari sebungkus nasi ataupun bersapa rindu pada sang illahi Entah hanya formalitas penanda agama atau mendapat intuisi Buah yang berjatuhan dari surga mungkin sedang terbata oleh munajat pendoa yang beterbangan Mereka tulus berdoa pada Tuhan tanpa menerima ketetapan yang telah diberikan Hamba yang selalu mengatur siklus kehidupan bahkan sang Tuhan. Mana ada hari suci selain hari jumat? Pada malam harinya sepasang kekasih melakukan ritual keramat Pada pagi harinya terbangun dengan hati yang tersekat Pada siang harinya pergi ke masjid untuk mencari Tuhan lalu bermunajat. Lantas, apa lagi yang di ingkari oleh hari jumat? Yogyakarta, 25 Oktober 2019

Puisi Sudah Mati

Gambar
Aku belum menemukan puisi pada derunya malam Hanya kisah dan dogma dari dia yang selalu bernuansa masa kelam Tak juga kurasakan ada prosa yang terlukis Entah mungkin dia yang terlalu puitis Aku terus mencari apa itu puisi Di dalam sujudku hanya tuhan yang terlihat menepi Tak ada bait yang sekiranya berlabuh pada untaian jiwa Ketika yesus dipuji, belum ada pula bait suci Siang yang terang pun tak menampakkan kasih sayang Kemana lagi puisi harus hidup tanpa ada campur tangan uang Kuhaturkan pada Tuhan... Apakah puisi masih bersembunyi di selangkangan? Ratap malam Resah siang Puisi.... Ada Abadi Tak kan mati Sleman, 26 Oktober 2019

Gerimis di Yogyakarta

Kala gerimis turun di malam hari Kota yang istimewa sedang mengajari hati Dari seorang insan yang sedang menjalari relung hati Gelora cinta kembali bertamu dalam tajuk sepi Gerimis turun dari langit ke tanah Seperti air yang turun dari mata sebab resah Yang dicinta lama kini telah tersekat Berganti menjadi dia yang semakin dekat ah..... mungkin inilah dunia yang tak luput dari ruang, jarak, dan waktu. Pada prosesnya, kucoba mencari jalan terbaik kutinggalkan yang disana dengan tulus kudekati yang disini dengan masa lalu berbalik agar kasih dan kisah berpadu dengan fokus gerimis reda hati hampa dan aku, JATUH CINTA! Yogyakarta, 28 Oktober 2019