Kedaulatan Betina di Meongis (cerpen)

Menuju senja, seekor kucing betina bernama Siti sedang mondar-mandir kebingungan. Keindahan senja di Republik Meongis dengan semburat merah dari barat tak dihiraukannya. Siti terlihat sangat acuh dengan kucing-kucing lain yang sedang berkencan dengan kekasih sambil menikmati lukisan Tuhan di sore itu.
Siang hari telah paripurna. Sang mentari telah menuntaskan tugasnya dengan pertanda sang rembulan yang mulai nampak dengan malu-malu. Joko mendatangi rumah Siti dengan membawa beberapa pakaian bakal anak mereka kelak. Siti sangat malu karena Joko adalah kucing jantan ketiga yang menghamilinya. Sedangkan kedua pejantan sebelumnya kini entah kemana. Lebih parahnya adalah pejantan kedua yang menghamili merupakan putra sulungnya dari hubungan gelap Siti dengan Parno sebagai pejantan pertama yang menyetubuhinya kala itu. Kini kedatangan Joko juga malapetaka baginya. Siti khawatir jika salah satu anaknya ada yang jantan dan setelah itu ia disetubuhi kembali oleh seseorang yang sempat tumbuh dari rahimnya yakni anaknya sendiri.
Negara meongis sendiri adalah negara yang dipimpin oleh Soposy sebagai presiden mandataris para kucing. Bagi Siti, negara ini tak adil sama sekali. Sebab, kucing jantan bebas berkuasa dan memuaskan hasrat birahinya pada kucing betina, termasuk pada ibunya sendiri. Sang presiden, Paduka Soposy sendiri sering berlagak baik terhadap rakyatnya apalagi ketika kucing betina yang hendak bersalin. Siti sendiri tak luput dari perhatiannya. Hampir setiap malam Paduka Soposy mendatangi Siti. Tak jarang pula bersamaan dengan Joko yang akan menjadi calon ayah dari anak-anak yang dikandung Siti. Motif mereka mendatangi Siti adalah untuk memastikan kapankah ia akan melahirkan. Karena jika yang dilahirkan menjadi kucing betina, pastinya salah satu akan dibawa oleh Paduka Soposy untuk dijadikan selir serta pemuas nafsunya. Begitu pun Joko, ia menanti-nanti anak betina dari Siti untuk dijadikan objek seksual berikutnya.
Hari demi hari terlewati dengan begitu saja. Siti bersalin menaruhkan nyawanya demi anak dalam kandungannya. Tepat semburat dari timur memancar, ketika ayam jago bersahutan melafalkan kalimat pujian pada sang pencipta, lahirlah tiga ekor anaknya dengan dua ekor betina diberi nama Rani dan Reni serta seekor jantan yang diberi nama Roni. Kelahiran itu masih dirahasiakan Siti dari pengetahuan Joko dan Soposy. Siti memiliki inisiatif untuk melarikan diri dari Republik Meongis serta membawa ketiga buah hatinya agar mereka bisa merasakan hidup yang layak tanpa ada penindasan dan pemerkosaan yang semena-mena terjadi pada kaum betina. Mereka bertiga berjalan jauh melewati hamparan rumput yang penuh rintangan. Selama dalam perjalanan, mereka sering bertemu dengan bangsa manusia yang terkadang ingin menculik Rani. Dengan paras bulunya yang bercorak tiga warna, menjafikannya betina yang kelak akan menjadi primadona jika tinggal di Meongis dan pastinya presiden pun akan menjadikannya selir utama.
**
Sebuah tempat yang masih sunyi dikelilingi pepohonan dengan irama arus sungai yang bernada sendu menjadi tempat menetap Siti sekaligus wahana bermain untuk Rani, Reni, dan Roni. “Ibu, mengapa kita tidak tinggal bersama bangsa kita? Dan hingga saat ini aku belum tahu siapa sih ayahku? “ Roni yang beranjak dewasa seketika menanyakan pertanyaan yang sedari dulu menjadi momok bagi Siti. Pasalnya, Siti ingin membuang jauh-jauh ingatan tentang Meongis serta pada saatnya kelak ia akan mendidik ketiga buah hatinya agar tak mengikuti budaya dogmatis peradaban republik Meongis yang sangat meremehkan para kucing betina. “ jadi, kehidupan di negara tempat kita tinggal dulu sangatlah tidak layak Ron. Peradaban disana sangat menginginkan kucing betina hanya menjadi pemuas nafsu. Terkadang seperti kamu pun sudah menyetubuhi ibunya sendiri. Janganlah engkau tanya siapa ayahmu agar engkau tak menyimpan dendam. Ibu mau engkau menjati pejantan sejati yang menjaga ibumu serta menjaga kedua saudara betinamu” mendengar sang ibu berbicara seperti itu, Rani dan Reni ikut terhening. Semesta juga menampakkan wajah melankolisnya seakan ikut menghayati ketimpangan sosial bangsa kucing di Negara Meongis.
Rani, Reni, dan Roni kini beranjak dewasa. Rani bertemu dengan seekor pejantan dari hutan liar. Mereka pun resmi menikah dengan seadanya. Pernikahan mereka nampak sakral karena Rani merasa tersentuh oleh perkataan ibunya beberapa waktu yang lalu mengenai tak adanya peri kekucingan terhadap kucing betina yang hidupnya hanya untuk menjadi pemuas nafsu kucing jantan. Roni dan Reni masih tinggal bersama Siti karena Siti sudah nampak tua dan mulai melemah termakan usia. Rani ternyata seekor betina yang kritis, ia sering bepergian ke hutan bersama sang suami untuk mencari kucing-kucing liar tak memiliki status kewarganegaraan dengan tujuan mencari massa serta memberikan pemahaman bahwa kucing betina itu bukanlah budak seksual dan kucing jantan bukanlah raja yang dapat semena-mena. Semua kucing sama dan dalam berhubungan harus dilandadi cinta, bukan sekedar nafsu menyetubuhi.
**
Rani telah berhasil memupuk kesadaran pada ratusan kucing liar. Begitu pula Reni dan Roni yang turut membantu memberi kucing-kucing liar itu dalam memahami makna prinsip sama rata dan sama rasa. Hal yang menjadikan Rani, Rani, dan Reni memiliki semangat seperti itu bermula dari keresahan Siti sejak masa lajangnya hingga berhasil membuahkan tiga ekor kucing yang menjadi penggerak kucing-kucing lain untuk menuntut kehidupan yang sejahtera dan berstatus kewarganegaraan yang jelas.
Pada malam hari beberapa kucing jantan dan betina berkumpul di depan rumah Siti. Mereka mengadakan konsolidasi yang dipimpin langsung oleh Siti untuk melakukan aksi menuntut penyetaraan hak antara kucing betina dan kucing jantan di Negara Republik Meongis. Mereka juga ingin menuntut Soposy turun dari tahtanya yang diselimuti oleh nafsu belaka. Dan yang paling penting adalah peran kucing betina bukanlah objek seksual pemuas nafsu pejantan. Setelah beberapa jam, konsolidasi itu akhirnya disepakati bahwa esok sebelum para jago berkokok, mereka berangkat dengan dipimpin oleh Siti dan Reni pada garda terdepan. Sedangkan Rani dan suaminya dibarisan belakang dengan Roni yang mengatur barisan tengah para kucing yang didominasi oleh kucing betina.
**
Disaat sebagian kucing di Meongis terlelap, dan sang presiden sedang khusyuk bercinta dengan selirnya, pasukan yang dipimpin Siti tiba di depan kantor serta rumah sang presiden.
Dengan jelas teriakan “Keluarlah Soposy”
“Dasar pemimpin mesum”
“Jangan puaskan nafsumu! Rakyatmu menderita”
“Tolol” dan hujan cacian dilontarkan oleh para kucing pasukan Siti dan anak-anaknya.
“Siti, apa maksudmu setelah sekian lama engkau pergi lalu tiba dengan membawa puluhan kucing yang tak satupun aku kenali rupanya. Dan mana anak-anakmu hasil hubunganmu dengan Joko kala itu” Soposy memang tak punya otak, ia nampak biasa-biasa saja melihat Siti dan puluhan massanya datang mencacinya di malam itu. “hai Soposy! Omong kosong apalagi yang kau lontarkan! Sudah puas engkau menyetubuhi para kucing betina, menghalalkan rahim mereka dari pejantan mana saja! Kami kaum betina juga tak terima dengan tingkahmu serta para pejantan lainnya yang semena-mena” dengan suarnya yang sudah nampak lelah termakan usia, Siti penuh emosi memerintahkan seluruh pasukannya untuk menyerbu Soposy. Bahkan para pelayan serta pengawal pribadi Soposy berlarian tak tahu arah karena melihat para kucing itu datang dengan penuh emosi. Malam itu sebuah kabar buruk dari langit untuk Soposy yang harus melihat dunia untuk terakhir kalinya. Tak terasa matahari terbit. Soposy telah terkapar tak bernyawa dengan luka gigitan serta cakaran dari pasukan Siti. Tak banyak warga Meongis yang tahu bahwa pagi itu presiden mereka sudah berganti menjadi Roni putra dari Siti.
Hari ini, Negara Republik Meongis sudah resmi dipimpin oleh Roni dan Reni. Roni memipin para pejantan dan Reni memimpin para kucing betina. Seluruh rakyat Meongis dikumpulkan di depan kantor istana kepresidenan kemudian Siti memulai sambutan untuk membuka acara deklarasi pemimpin baru serta revolusioner baru Meongis. Dari kerumunan rakyat, terlihat Joko sangat malu menampakkan wajahnya terhadap Siti yang pernah dihamilinya lalu ditinggal begitu saja. Mulai hari itu, Republik Meongis berhasil menjadi negara yang sejahtera tanpa ada ketimpangan seksual. Pekerjaan betina dan jantan juga merata. Tak ada ketimpangan sosial serta peri kekucingan sangat dijunjung tinggi. Sedangkan Soposy sendiri jasadnya telah dikremasi dan abunya dibuang disekitar tempat Siti membesarkan ketiga buah hatinya dulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

Sajak darah tinggi

Malam