Pasrahku, Tuhan.


Dengan pasrahku padamu, Tuhan.
Kuawali bait ini dengan segala kasih-Mu dan cinta-Mu pada segala kisah,

Wahai Tuhan yang Maha Pemurah.
Dalam perjalanan yang tak tahu arah,
Aku bermunajat diatas sajadah, sembari menghaturkan segala resah atas segala kelam yang menjadi kisah tanpa buah.
Aku dengan tabah, menanti dia yang namanya tak pernah lupa dalam kiriman alfatihah.

Wahai Tuhan yang Maha Mendengar.
Dalam kerinduan yang terus berkoar,
Aku menanti hangatnya kelakar dari secuil kabar, meskipun hanya sekilas membalas story tapi disitu ada hati yang bergetar.
Aku menyelami samudra cinta yang makin lama tak jelas kemana ia akan berputar, menuju dalam satu ruang lebar atau malah tersebar tanpa memoar.

Wahai Tuhan yang Maha Membolak-balikkan Hati
Dalam kenangan yang enggan menepi.
Aku berpetualangan menelusuri relung hati, masih ada namamu yang terukir dengan rapi, tanpa tau apakah hanya coretan yang tak berarti, yang kutahu, nama itu bukan sekedar abjad tak berseri, tapi ada bidadari yang menetap pada senyuman di pipi.
Aku dengan sepi, kuratapi sebait puisi, menanti dan hanya menanti, karena aku tahu kau tak akan pergi, kemanapun engkau berlari, aku selalu menjadi tempatmu kembali.
Dengan menyebut nama-Mu, Tuhan.
Kuakhiri bait ini dengan munajat yang tercurah.
Di sela doaku, kutitipkan secuil rindu

Yogyakarta, 03 November 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

Sajak darah tinggi

Malam