Hermeneutika Radikal: Dekonstruksi Derrida dan Kepongahan Kita dalam Menghakimi Sesuatu

 Oleh: Moh. Ainu Rizqi

Suatu hari selepas kuliah, saya pernah menanyakan kepada kawan-kawan saya, begini: “Derrida itu seperti apa, sih, pemikirannya?” Beberapa kawan saya mengatakan bahwa memahami Derrida itu mumet, njimet, tak pernah selesai. Tapi apakah benar demikian? Saya jadi meragukan ke-mumet-njlimet-an dan ketidakselesaian yang diucapkan kawan saya. Baiklah, mari saya ajak berkenalan dengan Derrida sesingkat-singkatnya dan sebisa-bisanya.

Mengenal Derrida

Seorang pemikir yang merayakan ulang tahunnya setiap tanggal 15 Juli ini dilahirkan di kota El-Biar dekat Aljir di Negara Aljazair yang saat itu masih membeku di bawah jajahan Prancis pada tahun 1930. Pemikir ini diberi nama Jacques Derrida (Hardiman, 2015). Di negara yang belum merdeka, Derrida dibesarkan oleh kondisi yang penuh gejolak dan tak lupa penuh kekerasan. Namun hal itu tak menjadi penghalang langkah Derrida kecil untuk menemui takdirnya sebagai seorang pemikir besar. Derrida kecil sudah berjabat tangan dengan Rousseau, Gide, dan Nietzsche melalui karya-karya mereka.

Di usia ke-22, Derrida masuk ke Ecla Normale Superieure, sebuah sekolah bergengsi yang banyak meluluskan filsuf di Prancis. Di sekolah itu Derrida mulai berkenalan dengan dosen cum pemikir-pemikir terkenal, seperti Louis Althusser, Michael Foucault, Pierre Bourdieu dan lain-lain. Derrida juga sempat menjadi asisten dari Paul Ricoeur di Universitas Paris I Sorbonne-Pantheon, lalu setelah itu ia kembali ke Ecole Normale sebagai pengajar di sana. Derrida sebenarnya hampir saja mendapat nominasi untuk menggantikan Paul Ricoeur di Universitas Nanterre, namun keadaan mengatakan lain. Mentri pendidikan Prancis saat itu menolak Derrida mendapatkan kedudukan tersebut, sehingga Derrida lebih sering bertandang ke Amerika Serikat. Mulai dari sanalah Derrida menjadi pemikir besar yang hingga kini namanya dikenal di kampus-kampus bahkan hingga di tongkrongan mahasiswa filsafat.

Dalam hal pemikiran, Derrida mengakui bahwa pemikirannya memiliki benang yang saling berjalin-kelindan dengan Heidegger, Nietszche, Adorno, Levinas, Freud, dan Saussure. Hal tersebut dapat ditelusuri dari esai-esainya dan pembawaannya terhadap teks-teks filsafat (Al-Fayyadl, 2005). Karena pengaruh dari tokoh-tokoh tersebut, nama Derrida menjadi pantas disandarkan pada jajaran pemikir posmodernisme. Sayangnya, setiap manusia—meminjam istilah Heidegger—selalu berada-menuju-kematian. Derrida meniupkan napas terakhirnya pada 9 Oktober 2004. Jasadnya telah membumi, begitu pun pemikirannya yang kini juga membumi di mana-mana, termasuk di Indonesia.

Mengenal Dekonstruksi Derrida

Saat bertanya kepada kawan-kawan saya tadi, sebagian ada yang mengatakan bahwa Derrida itu masyhur namanya karena “Dekonstruksi”-nya. Lalu apa dekonstruksi itu sendiri? Sepertinya mendefinisikan dekonstruksi adalah kesia-siaan, karena dalam KBBI sendiri, dekonstruksi berarti penataan ulang. Begitu pun jika kita mendefinisikan kata dekonstruksi-nya Derrida, berarti kita memfinalkan makna dekonstruksi itu sendiri dan secara tidak langsung kita mengkhianati Derrida. Sulit memang. Tapi, secara ringkas dapat saya sampaikan, bahwa dekonstruksi merupakan cara berpikir untuk menghantam apa-apa yang terlanjur mapan dan mendominasi.

Dekonstruksi merupakan suatu bentuk penghalauan sekaligus penolakan terhadap filsafat barat yang saat itu memiliki pandangan metafisika kehadiran dan logosentrisme. Metafisika kehadiran ini menjadi embrio bagi lahirnya logosentrisme. Oposisi biner menjadi akibat dari kecenderungan logosentrisme yang menaruh kepercayaan penuh terhadap akal atau rasio. Oposisi biner ini dapat diaplikasikan pada suatu hal yang saling beroposisi atau berlawanan, seperti: laki-laki – perempuan, pandai – bodoh, siang – malam, tinggi – rendah dll.

Adanya oposisi biner tersebut memiliki konsekuensi yang bisa dikatakan fatal dan brutal. Pasalnya dari dua kutub yang saling berlawanan tersebut, pada akhirnya mengimplikasikan ada sesuatu yang superior dan yang inferior. Mendominasi dan didominasi. Fatalnya, hal tersebut menyebabkan  adanya penindasan dan penjajahan. Misalnya, laki-laki dalam kultur kita masih dianggap lebih utama dari perempuan, akhirnya laki-laki dengan mudah mendominasi dan mengintervensi perempuan. Dalam hal ini, laki-laki mendominasi perempuan. Begitulah konsep filsafat barat—termasuk di dalamnya kaum strukturalis—yang memandang sebuah teks sedemikian rupa.

Karena keresahan tersebut, Derrida hadir menawarkan konsep dekonstruksinya. Lalu, apakah dekonstruksi adalah usaha untuk membalik tatanan oposisi biner, seperti laki-laki yang mendominasi perempuan, menjadi perempuan yang mendominasi laki-laki? Tentu tidak. Dekonstruksi hadir untuk menjunjung keterbukaan, keragaman, kesetaraan, dan menghormati segenap perbedaan.

Proyek dekonstruksi Derrida ini berfokus pada kemapanan dan kefinalan sebuah interpretasi terhadap teks. Langkah awal dalam mendekonstruksi teks tentu meneliti teks tersebut secara serius, sehingga dapat diketahui apa yang dimaksud dari teks tersebut. Jika hal tersebut sudah dirampungkan, maka mencari aspek-aspek yang kontradiktif dalam teks tersebut perlu dikembangkan guna meraih suatu pemahaman baru. Kontradiksi-kontradiksi yang didapat, meski sekecil apapun akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru, yang mungkin sebelumnya tak terpikirkan sama sekali.

Setiap teks selalu berpotensi untuk mendekonstruksi dirinya sendiri, sehingga teks selalu dapat dibaca dan dipahami dengan cara berbeda. Oleh karena tak boleh ada tafsir atau interpretasi yang bersifat otoritatif, bahkan dimutlakkan. Karena jika sesuatu itu menjadi otoritatif dan mutlak, otomatis klaim kebenaran akan selalu bersandar padanya. Klaim kebenaran tersebut yang selalu menjadi senjata untuk menyerang liyan yang berbeda penafsirannya terhadap teks tersebut. Dengan demikian, teks selalu berpotensi dimaknai dengan konteks yang berbeda secara terus-menerus dan tak dapat ditetapkan maknanya pada satu kebenaran.

Untuk memahami Derrida, kiranya perlu kita memahami konsep difference. Kata difference itu terdiri dari dua kata, yaitu: membedakan (to differ) dan untuk menunda kepastian (to defer). Maksudnya adalah kebenaran dan makna dalam sebuah teks harus terus dibedakan serta ditangguhkan kepastiannya (Royla, 2003). Nah, jika  kebenaran dan makna teks harus selalu dibedakan serta ditunda, apakah kebenaran itu ada? Ya, begitulah memahami Derrida. Pada dasarnya, jika mengacu pada dekonstruksi Derrida, maka kebenaran tak akan ada. Dekonstruksi Derrida ini bisa saja diterapkan dengan radikal, hanya saja konsekuensinya tentu mengarahkan seseorang pada arah kenihilan. Tapi pada tataran tertentu, dekonstruksi ini sangat baik, menurut saya, diterapkan di kehidupan sehari-hari. Mengapa?

Kebiasaan Kita yang Mudah Menghakimi

Saling tuding dan saling menilai yang lain mungkin sudah membudaya di Indonesia, apalagi di jagat sosial media. Jika ada seseorang yang memiliki pemahaman berbeda, bukannya diklarifikasi, ditanya, atau dihormati, yang ada justru dituding, dicampakkan, dicaci-maki, dan didiskriminasi. Oke, meski tidak semua orang Indonesia begitu, namun tidak sedikit pula yang melakukan hal tersebut. Apa penyebabnya? Ya, sudah pasti dan gamblang. Adanya klaim terhadap kebenaran; interpretasi terhadap sesuatu yang telah disepakati dan “difinalkan”; serta kepongahan kita, jika telah merasa sebagai mayoritas.

Bayangkan jika Derrida hidup saat ini di Indonesia. Pasti beliau akan mengguncangkan klaim-klaim tersebut, atau bahkan dituding juga oleh mayoritas atas nama “klaim” kebenaran yang telah terlanjur mapan. Padahal jika ditilik lagi, konsep dekonstruksi ini bisa menjadi alternatif lain agar konflik yang berawal dari rasa saling tuding dan rasa paling memiliki kebenaran itu ditunda untuk waktu yang tak terbatas, atau lebih radikal lagi daat dikatakan bahwa tak ada yang namanya kebenaran itu.

Namun apakah bisa tawaran konsep dekonstruksi itu dapat mengakar rumput di Indonesia? Saya tak akan mampu menjawabnya. Karena jika saya menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’, maka, lagi-lagi, saya akan mengkhianati konsep dekonstruksi itu sendiri. Jadi biar dijawab oleh waktu yang akan memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru ke depannya.

Refrensi:

Al-Fayyadl, M. (2005). Derrida. Yogyakarta: LKiS.

Darmawan, D. (2016). Kajian Hermeneutika Terhadap Fenomena dan Teks Agama (Al-Qur'an dan Hadis Nabi). Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 02, No. 01, 1-24.

Hardiman, F. B. (2015). Seni Memahami Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida. Sleman: Penerbit Kanisius.

Royla, N. (2003). Derrida. London: Routledge.

Udang, F. C. (2019). Berhermeneutik Bersama Derrida. Jurnal Tumou Tou, Volume VI, Nomor 2, 117-127.

Author: Moh. Ainu Rizqi (Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat Islam 2019, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

Sajak darah tinggi

Malam