Hermeneutika Radikal: Dekonstruksi Derrida dan Kepongahan Kita dalam Menghakimi Sesuatu
Oleh: Moh. Ainu Rizqi
Suatu hari selepas kuliah, saya
pernah menanyakan kepada kawan-kawan saya, begini: “Derrida itu seperti apa, sih, pemikirannya?” Beberapa kawan saya
mengatakan bahwa memahami Derrida itu mumet,
njimet, tak pernah selesai. Tapi apakah benar demikian? Saya jadi meragukan
ke-mumet-njlimet-an dan
ketidakselesaian yang diucapkan kawan saya. Baiklah, mari saya ajak berkenalan
dengan Derrida sesingkat-singkatnya dan sebisa-bisanya.
Mengenal Derrida
Seorang pemikir yang merayakan ulang
tahunnya setiap tanggal 15 Juli ini dilahirkan di kota El-Biar dekat Aljir di
Negara Aljazair yang saat itu masih membeku di bawah jajahan Prancis pada tahun
1930. Pemikir ini diberi nama Jacques Derrida
Di usia ke-22, Derrida masuk ke Ecla Normale Superieure, sebuah sekolah bergengsi yang banyak meluluskan filsuf di Prancis. Di sekolah itu Derrida mulai berkenalan dengan dosen cum pemikir-pemikir terkenal, seperti Louis Althusser, Michael Foucault, Pierre Bourdieu dan lain-lain. Derrida juga sempat menjadi asisten dari Paul Ricoeur di Universitas Paris I Sorbonne-Pantheon, lalu setelah itu ia kembali ke Ecole Normale sebagai pengajar di sana. Derrida sebenarnya hampir saja mendapat nominasi untuk menggantikan Paul Ricoeur di Universitas Nanterre, namun keadaan mengatakan lain. Mentri pendidikan Prancis saat itu menolak Derrida mendapatkan kedudukan tersebut, sehingga Derrida lebih sering bertandang ke Amerika Serikat. Mulai dari sanalah Derrida menjadi pemikir besar yang hingga kini namanya dikenal di kampus-kampus bahkan hingga di tongkrongan mahasiswa filsafat.
Dalam hal pemikiran, Derrida
mengakui bahwa pemikirannya memiliki benang yang saling berjalin-kelindan
dengan Heidegger, Nietszche, Adorno, Levinas, Freud, dan Saussure. Hal tersebut
dapat ditelusuri dari esai-esainya dan pembawaannya terhadap teks-teks filsafat
Mengenal Dekonstruksi Derrida
Saat bertanya kepada kawan-kawan
saya tadi, sebagian ada yang mengatakan bahwa Derrida itu masyhur namanya
karena “Dekonstruksi”-nya. Lalu apa dekonstruksi itu sendiri? Sepertinya
mendefinisikan dekonstruksi adalah kesia-siaan, karena dalam KBBI sendiri,
dekonstruksi berarti penataan ulang. Begitu pun jika kita mendefinisikan kata
dekonstruksi-nya Derrida, berarti kita memfinalkan makna dekonstruksi itu
sendiri dan secara tidak langsung kita mengkhianati Derrida. Sulit memang.
Tapi, secara ringkas dapat saya sampaikan, bahwa dekonstruksi merupakan cara
berpikir untuk menghantam apa-apa yang terlanjur mapan dan mendominasi.
Dekonstruksi merupakan suatu bentuk
penghalauan sekaligus penolakan terhadap filsafat barat yang saat itu memiliki
pandangan metafisika kehadiran dan logosentrisme. Metafisika kehadiran ini
menjadi embrio bagi lahirnya logosentrisme. Oposisi biner menjadi akibat dari
kecenderungan logosentrisme yang menaruh kepercayaan penuh terhadap akal atau
rasio. Oposisi biner ini dapat diaplikasikan pada suatu hal yang saling beroposisi
atau berlawanan, seperti: laki-laki – perempuan, pandai – bodoh, siang – malam,
tinggi – rendah dll.
Adanya oposisi biner tersebut
memiliki konsekuensi yang bisa dikatakan fatal dan brutal. Pasalnya dari dua
kutub yang saling berlawanan tersebut, pada akhirnya mengimplikasikan ada
sesuatu yang superior dan yang inferior. Mendominasi dan didominasi. Fatalnya,
hal tersebut menyebabkan adanya penindasan dan penjajahan. Misalnya,
laki-laki dalam kultur kita masih dianggap lebih utama dari perempuan, akhirnya
laki-laki dengan mudah mendominasi dan mengintervensi perempuan. Dalam hal ini,
laki-laki mendominasi perempuan. Begitulah konsep filsafat barat—termasuk di
dalamnya kaum strukturalis—yang memandang sebuah teks sedemikian rupa.
Karena keresahan tersebut, Derrida
hadir menawarkan konsep dekonstruksinya. Lalu, apakah dekonstruksi adalah usaha
untuk membalik tatanan oposisi biner, seperti laki-laki yang mendominasi
perempuan, menjadi perempuan yang mendominasi laki-laki? Tentu tidak.
Dekonstruksi hadir untuk menjunjung keterbukaan, keragaman, kesetaraan, dan
menghormati segenap perbedaan.
Proyek dekonstruksi Derrida ini berfokus pada kemapanan dan kefinalan sebuah interpretasi terhadap teks. Langkah awal dalam mendekonstruksi teks tentu meneliti teks tersebut secara serius, sehingga dapat diketahui apa yang dimaksud dari teks tersebut. Jika hal tersebut sudah dirampungkan, maka mencari aspek-aspek yang kontradiktif dalam teks tersebut perlu dikembangkan guna meraih suatu pemahaman baru. Kontradiksi-kontradiksi yang didapat, meski sekecil apapun akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru, yang mungkin sebelumnya tak terpikirkan sama sekali.
Setiap teks selalu berpotensi untuk mendekonstruksi dirinya sendiri, sehingga teks selalu dapat dibaca dan dipahami dengan cara berbeda. Oleh karena tak boleh ada tafsir atau interpretasi yang bersifat otoritatif, bahkan dimutlakkan. Karena jika sesuatu itu menjadi otoritatif dan mutlak, otomatis klaim kebenaran akan selalu bersandar padanya. Klaim kebenaran tersebut yang selalu menjadi senjata untuk menyerang liyan yang berbeda penafsirannya terhadap teks tersebut. Dengan demikian, teks selalu berpotensi dimaknai dengan konteks yang berbeda secara terus-menerus dan tak dapat ditetapkan maknanya pada satu kebenaran.
Untuk memahami Derrida, kiranya
perlu kita memahami konsep difference.
Kata difference itu terdiri dari dua
kata, yaitu: membedakan (to differ)
dan untuk menunda kepastian (to defer).
Maksudnya adalah kebenaran dan makna dalam sebuah teks harus terus dibedakan
serta ditangguhkan kepastiannya
Kebiasaan Kita yang Mudah
Menghakimi
Saling
tuding dan saling menilai yang lain mungkin sudah membudaya di Indonesia,
apalagi di jagat sosial media. Jika ada seseorang yang memiliki pemahaman
berbeda, bukannya diklarifikasi, ditanya, atau dihormati, yang ada justru
dituding, dicampakkan, dicaci-maki, dan didiskriminasi. Oke, meski tidak semua
orang Indonesia begitu, namun tidak sedikit pula yang melakukan hal tersebut.
Apa penyebabnya? Ya, sudah pasti dan gamblang. Adanya klaim terhadap kebenaran;
interpretasi terhadap sesuatu yang telah disepakati dan “difinalkan”; serta
kepongahan kita, jika telah merasa sebagai mayoritas.
Bayangkan jika Derrida hidup saat
ini di Indonesia. Pasti beliau akan mengguncangkan klaim-klaim tersebut, atau
bahkan dituding juga oleh mayoritas atas nama “klaim” kebenaran yang telah terlanjur mapan.
Padahal jika ditilik lagi, konsep dekonstruksi ini bisa menjadi alternatif lain
agar konflik yang berawal dari rasa saling tuding dan rasa paling memiliki
kebenaran itu ditunda untuk waktu yang tak terbatas, atau lebih radikal lagi
daat dikatakan bahwa tak ada yang namanya kebenaran itu.
Namun apakah bisa tawaran konsep
dekonstruksi itu dapat mengakar rumput di Indonesia? Saya tak akan mampu menjawabnya.
Karena jika saya menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’, maka, lagi-lagi, saya akan
mengkhianati konsep dekonstruksi itu sendiri. Jadi biar dijawab oleh waktu yang
akan memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru ke depannya.
Refrensi:
Al-Fayyadl, M. (2005). Derrida. Yogyakarta:
LKiS.
Darmawan, D. (2016). Kajian Hermeneutika Terhadap Fenomena
dan Teks Agama (Al-Qur'an dan Hadis Nabi). Jurnal Holistic al-Hadis, Vol.
02, No. 01, 1-24.
Hardiman, F. B. (2015). Seni Memahami Hermeneutik dari
Schleirmacher sampai Derrida. Sleman: Penerbit Kanisius.
Royla, N. (2003). Derrida. London: Routledge.
Udang, F. C. (2019). Berhermeneutik Bersama Derrida. Jurnal Tumou Tou, Volume VI, Nomor 2, 117-127.
Komentar
Posting Komentar