Negosiasi Ruang dan Waktu Antara Pembaca dan Penulis: Hermeneutika Schleiermacher

 Oleh: Moh. Ainu Rizqi

“Kau adalah aku yang lain.”—kalimat itu seketika berkelindan di kepala saya saat berupaya memahami pemikiran dari Fredrich Ernts Daniel Schleiermacher. Seseorang yang dinobatkan sebagai “Bapak Hermeneutika Modern” ini dilahirkan dari keluarga yang sangat taat dalam beragama Protestan di Breslau, Silesia yang saat ini masuk dalam wilayah Polandia pada tanggal 21 November 1768.

Schleiermacher ini memiliki bakat sebagai pengkhotbah, sehingga ia disekolahkan ke sebuah seminari di Barby/Elbe. Dari sana, ia berjabat tangan dengan kepustakaan ilmiah dan filosofis, yang antara lain ditulis oleh Goethe. Hal tersebut yang mengantarkannya untuk studi filsafat, teologi, dan filologi di Universitas Halle hingga membaca Immanuel Kant untuk pertama kalinya.

Pada masa itu juga sedang ramai kalangan cendekiawan dan sastrawan romantik. Pengaruh Romantisme ini yang mendorong Schleiermacher pada kajian hermeneutik. Salah seorang filsuf yang bernama Friedrich Schlegel memiliki peran penting dalam perjalanan intelektual Schleiermacher, yaitu dalam hal penerjemahan dialog-dialog Plato. Selain itu, nama Friedrich Ast dan Friedrich August Wolf juga patut disandarkan sebagai pengaruh besar dalam hermeneutika Schleiermacher ini.

Friedrich Ast merupakan seorang filolog yang meneliti teks-teks kuno yang dalam konteks Eropa merupakan warisan Yunani Romawi kuno. Ast mengatakan bahwa tugas filolog—dalam meneliti teks warisan Yunani Romawi kuno—adalah menangkap “roh” dalam kebudayaan Yunani dan Romawi kuno. Roh yang dimaksud adalah mentalitas suatu kebudayaan yang berwujud pada teks. Untuk memahami mentalitas kebudayaan tersebut, seorang penafsir perlu mempelajari gramatik sebagai alat bagi hermeneutik untuk menarik ke luar makna spiritual dari sebuah teks. Oleh karenanya seorang penafsir dalam memahami mentalitas kebudayaan harus mengerti karya-karya individu dan memahami individu lewat karyanya. Inilah yang nanti oleh Scleiermacher dikembangkan menjadi “lingkaran hermeneutik”.

Friedrich August Wolf, sama seperti Ast, yakni seorang filolog dan meneliti teks-teks kuno Yunani & Romawi juga memberi warna bagi hermeneutika dari Schleiermacher. Wolf mengatakan bahwa interpretasi adalah sebuah dialog dengan penulis agar dapat menangkap pikiran penulis. Seorang pembaca atau penafsir perlu merasakan apa yang penulis rasakan guna mendapat pemahaman yang kaffah dari isi teks tersebut. Konsep ajaran dari Wolf ini nantinya juga dilanjut-kembangkan oleh Schleiermacher dengan konsep “mengalami kembali”.

Dari Ast dan Wolf, hermeneutika membatasi dirinya pada teks-teks kuno dan keagamaan. Padahal terdapat beraneka ragam teks yang sangat perlu pemahaman atas maknanya. Bahkan, di sosial media pun kita saat ini mengetahui informasi juga melalui teks. Oleh karena itu, Schleiermacher berpendapat bahwa hermeneutik sebagai seni memahami teks yang umum dan universal.

Hermeneutika Schleiermacher

Di atas sudah sedikit disinggung, bahwa Schleiermacher mengatakan hermeneutik merupakan seni memahami teks. Lantas apa maksud dari “seni memahami” itu sendiri? Jika diteliti lagi, hermeneutik Schleiermacher tidak berangkat dari ruang dan waktu yang kosong. Seni memahami yang dimaksud oleh Schleiermacher ini bertolak dari kesalahpahaman yang kerap terjadi dari prasangka pembaca terhadap teks. Sehingga ketika memahami sebuah teks, yang dipahami adalah pikiran pembaca itu sendiri, bukan pikiran penulis teks tersebut—yang mungkin memiliki maksud lain andaikan pembaca itu menangguhkan prasangkanya. Sudah jelas kiranya, bahwa Scheielermacher menyuguhkan hermeneutik untuk memahami teks dengan penulisnya dan memahami penulis dengan teks-nya. Di sini terjadi pertautan antara teks dan konteks sang penulis.

Lalu apa tawaran Schleiermacher dalam memahami hermeneutikanya? Lingkaran hermeneutis. Ya, hal itulah yang disuguhkan Schleiermacher sebagai seni memahami, yang di dalamnya terdapat dua konsep interpretasi, yaitu: interpretasi gramatis dan interpretasi psiklogis. Karena dari memahami gramatis teks yang ditulis penulis, pembaca akan sampai pada pemikiran penulis. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hermeneutika Schleiermacher merupakan seni memahami penulis teks lewat dunia yang dikonstruksinya dari kata, alinea, bab, buku, genre dan kultur. Sedangkan aspek interpretasi psikologis dapat dikatakan secara singkat pula bahwa memahami keadaan penulis lewat individu, keluarga, generasi, masyarakat, kultur, negara, dan zaman. Begitulah lingkaran hermeneutis dari Schleiermacher.

Interpretasi Gramatis

Interpretasi gramatis merupakan sebuah seni memahami yang tolok ukurnya berdasarkan analisis bahasa yang digunakan teks itu sendiri saat ia ditulis. Dengan demikian, pembaca atau penafsir harus dan tidak-bisa-tidak untuk menguasai aspek-aspek tata bahasa secara utuh dan menyeluruh ketika mulai berasyik-masyuk dengan teks tersebut. Jika tak menguasai tata bahasa dengan baik, maka akan meletupkan pemahaman-pemahaman yang salah, bahkan sangat kontradiktif dengan maksud dari penulis. Dengan begitu, Schleiermacher sangat menekankan aspek diakronis teks. Karena menurutnya, seorang pembaca atau penafsir jika ingin memahami sebuah bahasa harus kembalu ke penutur sebagai pendengar perdana. Sehingga menjadi sangat utama dan paling utama untuk mengetahui bahasa dan tata bahasa yang berlaku pada saat teks yang dibaca itu mulai ditulis.

Intrpretasi Psikologis

Interpretasi psikologis ini menjadi aspek yang sangat penting—selain interpretasi gramatikal—dalam memahami teks. Interpretasi psikologis ini adalah upaya untuk mengetahui psikis dari penulis teks. Sebab seorang penulis merupakan hasil produk dari konteks sosialnya, pengetahuan, dan sejumlah pengalamannya. Penulis tak akan mungkin menuliskan sesuatu yang tidak ia mengerti atau ia alami. Untuk mencapai ke proses mengetahui tersebut, tentu seorang penulis selalu terikat dengan ruang dan waktu ketika tulisan tersebut diproduksi.

Interpretasi psikologis dapat pula dikatakan bahwa pembaca memasuki dunia mental penulis. Mengalami kembali pengalamannya dan merasakan apa yang dirasakan oleh si penulis ketika menuliskan teks tersebut. Jadi, memahami teks perlu dengan—meminjam istilah dari F. Budi Hardiman—mengambilalih posisi penulis saat menulis teks agar dapat menangkap kepribadiannya sekaligus.


Pertemuan Pembaca dan Penulis

Dari lingkaran hermeneutis yang berisi dua konsep interpretasi, yaitu interpretasi gramatis dan interpretasi psikologis tersebut, seorang pembaca atau penafsir akan memahami kata dari setiap kalimat dalam alinea pada bab yang terdapat di buku yang ditulis oleh penulis. Proses memahami tersebut akan menjadikan seorang pembaca juga melakukan perjalanan refleksi ke dunia penulis untuk merasakan atmosfer kultur, sosial, pengalaman, dan pengetahuan penulis saat memproduksi teks tersebut. Hal ini menghidupkan rasa empati dan menunda prasangka seorang pembaca agar dapat memahami dan menjelaskan teks tersebut seobjektif mungkin. Meski di sini keobjektifan seseorang masih bisa diperdebatkan, setidaknya Schleiermacher telah totalitas dalam mengupayakan seni memahami sesuatu secara objektif.

Mengapa pada tulisan ini saya membukanya dengan kalimat “kau adalah aku yang lain?” Karena, pertama, dengan hermeneutik Schleiermacher ini, kita tak hanya mengolah suatu data dan informasi, melainkan menghadirkan makna asli sebuah kata dalam teks dengan kesadaran kita. Kedua, dengan menggunakan empati, kita masuk ke dalam zona subjektif penulis teks. Hal ini juga menimbulkan kesadaran untuk kita agar tak mudah berprasangka yang acapkali menyebabkan kesalahpahaman karena kita dengan telaten dan khusyuk merasuk ke dalam dunia psikis penulis. Ketiga, seni memahami bersama Schleiermacher ini mempertemukan pembaca dengan penulis dalam ruang dan waktu yang berbeda, namun menjadikan kita mengetahui perkawinan teks dan konteks ketika teks tersebut ditulis oleh penulis. Sehingga kita tidak gegabah dalam memahami teks, apalagi jika teks tersebut memiliki otoritas, seperti teks keagamaan, yang jika tak memahami konteks dari penulisan teks itu, maka semudah mengacungkan jari kita menghakimi liyan.

Pada akhirnya, hermeneutika Schleiermacher ini mengatasi kesenjangan ruang dan waktu antara pembaca dan teks yang dibacanya. Selain itu, Schleiermacher mengajak pembaca agar dapat menafsirkan isi teks secara objektif: tidak menafsirkan seenak udel-nya sendiri, tidak mengedepankan egonya dalam menafsirkan, dan tidak menyalahgunakan teks untuk melegitimasi keinginannya—yang barangkali dapat membahayakan bagi sesama manusia.

Sebelum saya tutup tulisan ini, dalam benak saya muncul gugatan: Jika dengan hermeneutika Schleiermacher ini bisa membuat kita memahami secara objektif, apakah ada sesuatu yang benar-benar objektif (dalam pandangan manusia) di dunia ini? Apakah penulis, pada saat menulis teks, benar-benar objektif pula dalam menuliskan sesuatu yang ditulisnya? Terakhir, jika kita diharuskan berempati dengan memasuki dunia psikologis seorang penulis teks, bukankah ruang untuk mengkritik dan merelevansikan teks tersebut akan semakin sempit? Karena teks tak dapat berdiri sendiri dan konteks dari masa ke masa juga selalu mengalir. Berarti jika terdapat suatu kebaruan dalam problem, perlu dimunculkan teks baru juga yang sesuai dengan konteks di mana problem itu terjadi pada konteks yang berbeda sama sekali.

Refrensi:

Bary, S., & Zakirman. (2020). Hermeneutika Friedrich D.E Schleiermacher sebagai Metode Tafsir Al-Qur'an. Journal of Qur'an and Hadith Studies, Vol. 9, No. 1, 51 - 70.

Darmawan, D. (2016). Kajian Hermeneutika Terhadap Fenomena dan Teks Agama (Al-Qur'an dan Hadis Nabi). Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 02, No. 01, 1-24.

Fanggidae, T. W., & Paonganan, D. D. (2020). Filsafat Hermeneutika: Pergulatan antara Perspektif Penulis dan Pembaca. Jurna Filsafat Indonesia, vol. 3, no. 3, 102-108.

Hardiman, F. B. (2015). Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Sleman: Penerbit PT Kanisius.

Talib, A. A. (2018). Filsafat Hermeneutika dan Semiotika. Palu: Penerbiy LPP-Mitra Edukasi.

 

Author: Moh. Ainu Rizqi (Mahasiswa Prodi Aqidah Filsafat Islam 2019, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga)

 
 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

Sajak darah tinggi

Malam