Hermeneutika Gadamer: Fusion of Horizons
Menyoal “Radikal” yang Kini Negatif
Oleh Fajar Sidik
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga
Sekilas tentang Gadamer
Namanya mulai melambung sejak karya monumentalnya “Wahrheit and Methode: Grundzuge einer Philosophischen Hermeneutik”
terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1960 (A.P. Kau, 2014). Luar biasanya, buku
tersebut masih menjadi rujukan prioritas pengkaji hermeneutik sampai saat ini.
Buku tersebut juga dianggap sebagai karya yang interpretatif dan produktif,
sebab darinya lahir ratusan bahkan mungkin ribuan karya tulis baru. Saking populernya, karya tersebut juga menjadi
momok bahasan disemua tempat dan menuai banyak kritik pada awal kemunculannya,
oleh karena itu pada tahun 1965 Gadamer menerbitkan cetakan kedua buku tersebut
dengan menambahkan pengantar khusus sebagai jawaban atas keberatan-keberatan
berbagai pihak terhadap karya monumental kepunyaannya.
Nama
lengkapnya adalah Hans George Gadamer. Ia lahir di Breslau, Marburg, German
pada tanggal 11 Februari 1900, dan tutup usia pada tanggal 13 Maret 2002
diusianya yang menginjak 102 tahun (Rasyidah, 2011). Gadamer termasuk salah
satu pemikir yang masih merasakan kepemimpinan Hitler, walaupun ia menjaga jarak dengannya (NAZI).
Ia berasal dari keluarga Protestan klasik yang terkenal lebih terbuka lagi
humanis.
Karirnya dimulai pada tahun 1929, saat itu ia menjadi asisten bagi Martin Heidegger pasca keberhasilannya menyabet gelar doktor (Rasyidah, 2011). Ia mengabdi pada Heidegger sekitar lima tahun, baginya Heidegger adalah guru dan teman diskusi yang baik, bisa dibilang Heidegger adalah salah satu tokoh yang berpengaruh banyak dalam perkembangan pemikiran filsafat Gadamer, disusul beberapa tokoh filsafat lain, terutama corak fenomenologi yang mana sedang pesat meluas di Jerman kala itu. Setelah berhenti sebagai asisten Heidegger, Gadamer mengajar di Universitas Kiel, bahkan ia sempat menjadi rektor disana. Karir mengajarnya berlanjut di Frankfurt selama dua tahun sebelum akhirnya ia menggantikan Karl Jasper di Heidelberg sebagai professor filsafat hingga pensiun pada tahun 1968 .
Fusion of Horizons (Peleburan Cakrawala)
Sebenarnya istilah horizons (cakrawala) sendiri bukan lahir dari Gadamer, melainkan dari Nietzche yang pertama kali memperkenalkannya pada awal abad ke-19 (Budiantoro, 2014). Gadamer banyak menelisik horizons ini dari Husserl yang merupakan pemikir fenomelogi, Husserl adalah salah seorang pemikir yang amat menghighlight horizions kepunyaan Nietzche, ia juga merupakan orang pertama yang menyadur istilah horizons ini pada persoalan intensionalitas kesadaran manusia.
Bagi Gadamer sendiri, Horizons adalah prasangka, perspektif, pengetahuan, dan kesadaran. Adapun sifatnya adalah lebar, luas, dan tak paten. Seperti yang disampaikan Budiantoro (2014) bahwasannya horizons yang dimaksud Gadamer adalah prasangka yang terkandung dalam tradisi, dan tentu prasangka adalah besar kemungkinan terubah, berubah, dan diubah.
Asumsi Gadamer yang menjadi latar kemunculan istilah ini adalah pemahamannya tentang cakrawala manusia. Gadamer meyakini bahwa cakrawala manusia adalah akumulasi dari lingkaran cakrawala masa lalu dan saat ini. Dengan uraian yang lebih sederhana, pemahaman seseorang tentang sesuatu selalu terpengaruhi pengetahuan seseorang (itu sendiri) dimasa lalunya (Budiantoro, 2014). Maka terang bahwa pemahaman manusia adalah hasil dari peleburan cakrawala-cakrawala, titik lebur antar horizons, fusion of horizons.
Lebih rinci lagi, maksud istilah fusion of horizons dalam Hermeneutika Gadamer ini adalah upayanya untuk memberi penekanan bahwa setiap orang memiliki kemampuan dan hak untuk menginterpretasi segala hal, terlebih menyoal teks, bacaan dan hal lain sepadannya. Dalam Hermeneutika Gadamer, nampak jelas bahwasannya setiap teks berpeluang diinterpretasikan secara berbeda, sebab terjadi peleburan dua cakrawala di dalamnya. Cakrawala pertama adalah teks yang ada, ia membawa tafsir dan maksud yang dikehendaki penulisnya, kemudian cakrawala kedua adalah pembacanya, yang mungkin membawa tafsir dan paham yang berbeda juga, oleh karenanya hasil dari peleburan dua cakrawala tersebut muncullah berbagai interpretasi makna, muncullah berbagai tafsir, muncullah perspektif yang beragam. Konsekuensi klimaksnya adalah bahwa kebenaran setiap interpretasi itu adalah subjektif (Sumaryono, 1999).
Menurut saya, konsep fusion of horizons kepunyaan Gadamer ini penting nan-interesting. Darinya saya menjadi tahu kenapa berbagai pemikiran, teks utuh, uraian kalimat, bahkan kata sekalipun bisa memiliki banyak makna dan tak ada jaminan bahwa antar maknanya selalu mengarah pada sudut yang sama, sebab pada kenyataannya banyak kita temui suatu istilah atau suatu kata dimana ia memiliki dua atau lebih makna yang berbeda, terkadang tak hanya beda bahkan saling berlawanan; radikal misalnya.
Istilah radikal yang kini negatif
Salah satu bukti bahwa pemaknaan kata adalah hasil peleburan horizons-horizons sebagaimana yang disampaikan Gadamer adalah istilah radikal yang kini memiliki dua wajah, baik dan buruk. Sayangnya, penggunaan istilah radikal yang kerap disandingkan dengan aktivitas-aktivitas berkonotasi negatif oleh media saat ini berakibat pada kondisi seperti patennya istilah radikal dalam wajah yang buruk (Sidik, 2019).
Ini hanya asumsi yang disimpulkan berdasar pada lingkungan di sekitar saya, bahwasannya 9/10 orang (di sekitar saya) yang mendengar istilah radikal pasti akan langsung terpantik pikirannya untuk menyimpulkan bahwa sedang terjadi sessuatu yang berkonotasi negatif, entah itu kekerasan, terorisme, makar, dan lain sebagainya. Begitulah, bagaimana kata radikal yang seharusnya netral atau bahkan mungkin seharusnya berwajah baik kemudian terkonversi berwajah buruk. Ulah media yang mengesankan citra tak baik tentang radikal sudah terakumulasi menjadi satu cakrawala pegangan, menjadi cakrawala yang menyebabkan mayoritas orang saat ini menyimpulkan hal-hal negatif saat menemukan istilah radikal.
Adapun jika ditelusuri lebih lanjut sebenarnya istilah radikal ini tidak selalu tampil dalam wajah yang buruk. Pendapat Karl Marx misalnya, pada tahun 1844 Karl Marx dalam pemikiran ekonomi-politiknya, ia menggunakan istilah radikal ini sebagai kondisi memahami sampai ke akar-akarnya, menjadi seseorang yang radikal berarti menjadi seseorang yang paham betul persoalan mendasar konkret bagi manusia, yakni ekonomi dan politik. Tercatat mulai saat itu setiap orang justru berlomba-lomba menjadi radikal untuk dapat memahami problematika kehidupan manusia dengan tujuan mengakhiri (problem-problem)-nya dan kembali menuai kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera. Ini juga sejalan dengan apa yang kita temui dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), dimana tercatat disana bahwa akar kata radikal adalah radix (bahasa Latin) yang berarti akar, mendasar, seasli-aslinya, sampai pada prinsipnya; kemudian dapat diartikan juga sebagai sikap lebih maju dalam berpikir dan mengambil tindakan (Sidik, 2019). Dari sini kita paham bahwa radikal pada dasarnya adalah istilah yang bersifat netral, bahkan positif, namun dilatari ulah satu dan beberapa pihak, akhirnya istilah radikal ini terkonversi menjadi istilah yang negatif sama sekali.
Setidaknya pendapat Karl Marx dan definisi etimologi dari KBBI yang mencitrakan wajah baik dari istilah “radikal” berpeluang menjadi cakrawala pegangan yang baru, agar kedepannya mayoritas masyarakat tidak parno saat mendengar istilah radikal, sekurang-kurangnya menjadi moderat, syukur-syukur bisa mengedepankan pothink ketimbang nethink.
Daftar
Pustaka
A.P. Kau,
Sofyan. Hermenrutika Gadamer dan
Relevansinya dengan Tafsir. Jurnal Farabi, Vol. 11, No. 2.
Budiantoro, Wahyu. 2014. Hermeneutika Gadamer. Artikel Kemendikbud.
Rasyidah. 2011. Hermeneutika Gadamer dan Implikasinya
terhadap Pemahaman Kontemporer al-Quran. Jurnal Religia, Vol. 14, No. 2.
Sidik, Fajar.
2019. Bemimpi Lebih Baik ? pintar merasa
dan radikal saja. Makalah Pendidikan Kewarganegaraan.
Sumaryono. 1999. Hermeneutika
Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Komentar
Posting Komentar