Cerpen: Tamu itu Seorang Penjahit


“Peringatan! bahwa kedaulatan kopi dan rokok anda kali ini sudah mencapai batas maksimal. Silahkan berhenti dari ngopi, puisi dan menanti! Saatnya berpuasa, beribadah, dan menghindari maksiat dengan perlawanan di atas kasur!“

            Begitulah kiranya masa-masa akhir setelah sahur dan alarm isyak telah terdengar dari toa musholla yang tak jauh dari tempatku. Sejak beberapa waktu kemarin, aku sungguh merasa tak nyaman dengan kehadiran tamu yang sungguh menjengkelkan. Tak ada yang mempersilahkan, tak ada pula yang mengundang. Ia tiba seenak hati dengan penuh kecemasan. Kemana pun aku berjalan ia selalu turut serta menghampiri. Tak pernah izin, tak pernah pamit.
“Ah sialan…” gumamku dalam hati.
            Beberapa pekan lalu ada pula tamu serupa tapi kehadirannya membuatku merasa nyaman dan tenang. Bila kutaksir, tamu waktu itu mengandung unsur keindahan senja kala itu saat kekasih melepas kepergianku setelah pertemuan sakral di helat tepat di ujung timur kota angin. Rasanya sungguh syahdu sembari mendengar deru kendaraan. Ketika Bus yang menjadi tumpanganku tiba, ia titipkan sinar rembulan dari matanya dan terbitkan semburat senyum dari ufuk bibirnya yang manis lalu dimasukkannya dalam saku yang berada pada memoarku.
            “ Ya… itu kan dulu tho? Kalo sekarang? “
 bajingan tenan ternyata si sunyi ini! Tanpa seizinku, dia berani-beraninya menanyakan itu sambil mencemoohku yang pasrah dihantam-hantam kenangan.  Disaat seperti ini, tamuku sungguh tak berbudi luhur. Aku sahur, ngopi, dan ngudud dia ikutan nimbrung dengan membaca bait-bait luka.
            “ Itu kan sajak semalam yang dibacakannya pada kolom ‘Kita dan Cerita yang Belum Usai’ beberapa waktu lalu tho? “ Aku tertegun dan terkaget-kaget mendengar tamu itu membawakan dengan saduran rembulan yang terkena gerhana.
            “ Rasakan sendiri! Hahahaha… “ Tawa kejamnya menusuk kalbu dan membangunkan rindu yang tertidur pulas di dalam kamar kasih sayang.

Okelah, kubiarkan saja ia terus menerus mencericau tak jelas. Kulanjutkan ngopiku sebelum adzan subuh tiba. Tapi, ia datang terus menyerang. Dibawanya pusaka yang ditakuti oleh seluruh muda-mudi hampir seluruh dunia. Pusaka itu bernama ‘SEPI SUNYI HALU SETIAP HARI’.
Aku pun berlari ketakutan, padahal ia pun tak mengejarku. Masih tenang-tenang saja duduk menunggui lembar demi lembar anak-anak hasil persetubuhanku dengan sunyi yang amat molek itu. Diriku berniat lari menuju ke lorong kenangan. Belum sampai lorong kenangan, aku dijegal oleh seorang yang bernama ‘ego’ di tikungan.
“ Kembalilah kau pada tamumu itu! Layani dia, hadapi, dan ambil lalu buang sesuatu yang ada pada tubuh tamu itu “ ego memarahiku dengan nada meradang.

            seketika aku bangkit dan kulawan ketakutanku atas pusaka sakral yang bernama ‘SEPI SUNYI HALU SETIAP HARI’ itu. Dengan langkah gontai, kudatangi lagi tamu itu. Masih dengan tenangnya ia sodorkan pusaka itu.
“Oke, aku faham kok pusaka itu akan mencabut nyawa kemerdekaanku jika aku bergelut dengan yang namanya ego dan bertahan atas kuasa yang meneteskan airmata kekasih”  Gumamku sambil kembali ke arah sepi pada pagi buta kali ini.
            Aku masih enggan menanyakan siapakah sebenarnya tamu itu, dari mana asalnya dan untuk tujuan apa ia datang sembari menyodorkan pusaka yang ditakuti itu. Segera kuingat-ingat lagi ego yang tadi sempat menjegalku lalu memberi pesan agar aku mengambil lalu membuang sesuatu yang ada pada tubuh tamu itu. Apa maksud dari semua itu? Ssesuatu itu apa yang harus kuambil dan kubuang dari tubuh tamu itu? Apakah mungkin…hmm?

“ Hiiihhhh… lebih baik kudatangi lagi tamu itu” aku beranjak ke sudut ruang perjamuan tamu karena saat ini ia sedang menanti di hadapan deru rindu dan cangkir air mata.

            Kudiamkan saja, kubiarkan dia merjang bahkan menghantam tubuh hatiku. Rasa-rasanya ia memang mengetahui duduk perkara seluruhnya, dan mengetahui segala skenario yang akan datang. Setelah puas ia menerjang-menghantam tubuh hatiku, ia menyodorkan sesuatu yang hendak aku ambil dan hendak kubuang. Disodorkannya secangkir airmata kekasih yang diciduknya dari lautan emosi dan dari tepi muara keindahan matanya yang sayu pada waktu pagi.
            “Astaga….” Aku tersadar. Tamu yang datang itu bernama ‘Duka’. Dia yang pernah datang beberapa waktu silam dengan membawakan pusaka yang sama dengan bingkisan yang sama pula yaitu; airmata kekasih. Teringat pula tamu sebelum si duka ini ternyata bernama ‘bahagia’ yang membawakan semburat senyum dari ufuk bibir manisnya dan menerbitkan rembulan dari ufuk mata indahnya.
            “Okelah duka, terima kasih atas kehadiranmu. Setelah ini silahkan pergi dengan terhormat atau engkau kuusir dengan kudatangkan tamu yang beberapa pekan lalu tiba! Kalau perlu akan kulaporkan engkau pada pihak berwajib yang merupakan kekasih setia dalam menghalau segala kekejian, penindasan, dan keprihatinan atas jajahan negara jomblo“ gertakku padanya.
            Belum lagi ia pergi. Aku terhempas oleh adzan shubuh di telinga yang menghempas lamunanku. Tersadar olehku jika diriku baru saja menerapkan ilmu halusinasi ke dunia lamunan dengan petualangan singkat bersama tamu yang tak kuinginkan itu. Tamu yang bernama duka itu profesi sehari-harinya juga menjahit luka. Sebab duka tanpa kita sadari selalu membawa jarum jahit bernama motivasi yang berguna untuk menjahit luka
_________
Dalam sadar ku ucapkan “Terima kasih duka dan bahagia, kalian selalu mejadi tamu yang silih berganti” dan tak lupa ku tengok lagi kamar memoar kekasih. Kusampaikan bahwa “airmata dariku pada pagi itu telah kuambil dan akan segera kuganti dengan temu jika pandemi telah pulang kampung”.

Yogyakarta, 3 Mei 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

Sajak darah tinggi

Malam