30 hari; Puasa dalam balutan Puisi

Menjadi manusia memanglah tak dapat melepas segala kerancuan dan topeng-topengnya. Selama satu bulan ini tak lain dan tak bukan hanya untaian kata-kata yang tertampung. Banyaknya kata-kata ini tak mampu jua menampung rindu yang berkelimdan kesana-sini serta kenangan jaman baheula yang menggores duka.
Silahkan dinikmati:


(1)
Malam sungguh memberi deru
Melalui angin dan desau sunyi
Ia siarkan rindu yang hidup dari sebuah obituari
Rindu yang tercekik oleh seorang manusia penuh durjana
Ya, tepat beberapa tahun lalu
Kita yang masih berumur jagung
Menempati hari yang penuh huru dan hara
Hanya dengan berpandangan sambil berharap nama kita tertulis pada surat undangan
Tak habis-habisnya dirimu membius hati dengan senyum khas pribumi
Tak habis-habisnya pula diriku mengharap rasa yang terbalas meski hanya kusanggupi melalui bait puisi
Anganku terlalu jauh berkelindan dengan uban pertama di rambutmu esok yang kusaksikan dengan mata indraku
Mimpiku terlalu lama merdeka dengan berharap dirimu lekas merevolusi hatimu dan bereproduksi dengan benih dariku
Maaf, jika segala itu hanya lantaran kamu dan rasa tak berbalas
Semoga puasa kali ini kita sama-sama puas
Puas beribadah ataupun puas tidur pulas

Yogyakarta, 24 April 2020

**
(2)
Oh kamu
Malam ini kopi sebagai candu sudah larut jadi seduh
Sedangkan parasmu masih tetap saja rindu yang tak mau sudah
Belum sempat kuselesaikan bacaan kitabku,
Dirimu masih berkeliaran dalam ingatanku
Beruntung seusai tarawih,
Ingatan itu hadir dengan bersih.
Semua tentang masa lalu
Semua bukan lagi semu
Dan masa depan yang entah tak kutahu

Yogyakarta, 25 April 2020

**
(3)
Aku sudah jauh lari kedalam ingatanku
Kutengok kanan-kiri, semua masih saja tentang luka
Sukacita ialah dukacita yang bersandiwara
Puasaku tak hanya menahan haus dan laparku
Menahan gejolak juga merupakan fitrahku
Gejolak antara dirimu yang semakin merancu
Atau hanya gelora ego yang semakin tak tahu diri
"Sudahlah!"
"Jadi manusia dulu"
"Setelah itu pelajari perihal manusiawi"
Ucap sepi yang berkelindan tanpa segan

Yogyakarta, 26 April 2020

**
(4)
Ah, aku teringat pada kala itu
Masakan ibu dengan kantuk tertahan di kantong matanya
Racikan bumbu yang terbuat dari keikhlasan
Disajikan dengan kasih sayang
Dibangunkannya diriku dari tidur ala anak kecil
Terbangun sekaligus tertegun
Kulihat yang ada hanya kebetulan-kebetulan
Kebetulan aku sedang terbangun dari mimpi
Kebetulan aku lupa minum kopi
Kebetulan aku sudah menjadi seorang pribadi
Dan kebetulan tahun ini tahun ketiga tak kusantap sahur bersamanya

Yogyakarta, 27 April 2020

**
(5)
Selamat,
Selamat,
Hari ini bertepatan hari puisi nasional, katanya.
Bertepatan mengenang wafatnya pujangga kita
Yang melalang buana dengan binatang jalang dan agak nakal
Dulu, berpuisi sudah matang sejak dalam pikiran
Kini, berpuisi tak ubahnya seperti berpuasanya anak TK
Mari!
Ajari aku juga berpuisi
Melewati hari yang indah tanpa kenal sepi
Menanti sisa hidup sambil tertawakan mati
Mencintai kekasih meski terkadang luka masih menganga di hati

Yogyakarta, 28 April 2019

**
(6)
Jika aku ditanya:
Dari manakah asal-usul senyumnya?
Mungkin akan kujawab bahwa senyumannya berasal dari nyanyian mawar yang bermekaran
Sungguh indah dipandang mata telanjang
Sungguh sayang jika dibiarkan terbuang
Tapi akan kupertegas pula:
Bahwasanya mawar juga berduri
Bahwa aku juga sering tersakiti oleh duri yang bertautan untuk menjaga keindahan si mawar
Bahwa mawar kurang lengkap tanpa duri yang terbuat dari ego kita sendiri.
Sebab itulah kukatakan:
Apabila ingin memiliki mawar,
Jaga keindahan itu!
Rawat dengan hati yang sehat
Jangan sampai tersakiti oleh ganasnya duri
Begitulah kiranya mawar indah yang bisa menyakiti tanpa keluarkan darah

Yogyakarta, 29 April 2020

**
(7)
Oke, kekasih.
April sudah mencapai orgasme
Mulai dari almanak pertama hingga kini paripurna
Dirimu masih saja seperti kala itu kita masih seumur jagung
Yang belum memaknai sebuah hakikat rindu dengan agung
Kita juga telah sepekan berpuasa
Menahan lapar dan dahaga
Menahan rindu yang tak jera
Dan menahan rasa yang hampir sirna, entah aku atau dikau.
Sebelum semua pudar,
Aku ingin kita sadar
Dari segala tetek-bengek yang telah lampau
Atau dari segala gertapan silam yang sempat kacau
Usahlah kita berlarut dalam bahtera yang tak jelas bernahkoda
Jika berhenti, pilihlah hendak ke pulau mana engkau berlabuh
Jika terus berlayar, buanglah jangkar yang terbuat dari ego yang berkarat itu
Kita sudah memiliki muara, mari kita utarakan dengan kesungguhan rasa sebelum Desember sampaikan luka

Yogyakarta, 30 April 2020

**
(8)
Bulan baru, almanak tertanda angka satu
Hari dimana pelosok-pelosok pabrik menjadi bisu
Sebab para awak turun ke jalan untuk menuntut hak penghidupan
Tanpa tedeng-tedeng aling, tanpa suara mesin yang bising
Kerja, kerja, dan kerja!
Anak, istri, dan keluarga butuh kenyang dan pengobat dahaga
Menjadi manusia sudah tak ada lagi yang terlepas dari duka
Menjadi manusia juga tak dapat abadi rasakan bahagia
Bahkan, ada yang mengatakan bahwa menjadi manusia adalah setumpuk petaka
Mampuslah kita!
Menjadi manusia yang kurang dimanusiakan
Satu dua gertakan kita lakukan untuk menendang kepahitan
Tangis bayi pada tetek ibunya yang mengering sudah menggambarkan riwayat tak berdenting
Panjang umurlah manusia serta segala manusia yang sudah menjadi ada dalam ketiaadaan

Yogyakarta, 1 Mei 2020

**
(9)
Malam ini sunyi kian menyiksa
Lagi dan lagi
Kita tunduk terhadap perasaan
Belum kita kenali apa itu romantis
Belum kita gauli rasa yang sungguh ironis
Hancur!
Diambang kepahitan
Diterjang gelombang yang menyambar relung hati
Dihantam gundah yang berwujud rindu
Semburat itu mendadak sirna
Semburat kasih
Disirnakan oleh jarak yang enggan bersahabat
Dibuai ego yang tak ada sekat
Bangsat!
Sudahlah, sayang.

Yogyakarta, 2 Mei 2020

**
(10)
Seorang tamu tiba tanpa ketuk pintu sejak tadi pagi
Tanpa sopan santun, tanpa tata krama
Dia datang menghampiriku seperti menantangku
Dibawanya kumpulan air mata yang sedikit ku kenal wujudnya
Ya! Tamu itu ternyata kesedihan yang menggunakan kendaraan bernama kegelisahan
Dengan jas kenangan yang ia kenakan
Dia datang dengan membawa seutas kabar
"Ketahuilah! Hai orang tak tahu siang dan tak kenal matahari!"
Tanpa pembukaan dan awalan, tamu itu melanjutkan
"Air mata yang ditumpahkannya pagi itu,
Berasal dari lautan kenang dan deru ombak masa lalu"
Aku terdiam,
Aku tersadar,
Ku izinkan tamu itu menginap
Hingga datang lagi satu tamu yang tetap
Tamu yang berasal dari menatap dirinya hingga hatiku menetap
Semoga segera tiba kemari sembari membawa almamater senyumnya

Yogyakarta, 3 Mei 2020

**
(11)
Bunga mawar bermekaran
Diasuh sinar sang rembulan
Kita tertawa
Terbawa lambai cinta
Malam meradang
Melupa terik siang
Hai kasih yang kusayang
Mari sini
Kusimpan tawamu yang mengalahkan rembulan

Yogyakarta, 4 Mei 2020

**
(12)
Hari ini semua menyatu
Kenangan
Kerinduan
Kebahagiaan
Masa lalu
Mengharu-biru ditikam malam
Melanglang buana dihentikan rembulan
Mati semua kini
Hidup hanyalah esok hari

Yogyakarta, 5 Mei 2020

**
(13)
Rabu
Segumpal rindu terbawa deru ombak haru
Ada yang mati
Ada yang lahir
Selalu
Meninju segala penjuru
Ketika kita masih hidup dalam redup
Aku berharap agar tak ada kisah kita yang hilang menyelundup
Lampu putih bersih
Berjalan menuju hati kita agar tetap bersih

Yogyakarta, 6 Mei 2020

**
(14)
Kekasih, kamis ini manis
Engkau tak lagi sinis
Ketika aku memulai
Engkau menuai
Cintaku
Cintamu
Menjelma menjadi bait-bait kata
Mengkristal dalam udara sejuk di pagi hari
Semoga menjadi kisah yang tanpa henti
Kekasih, terima
Kekasih, kasih

Yogyakarta, 7 Mei 2020

**
(15)
Rembulan malam ini memancarkan semesta
Layak dengan sebutan purnanya purnama
Sungguh menawan
Memanjakan
Merindukan
Tapi hanya sementara dapat dinikmati
Jika selamanya
Mungkin dapat diwakili dengan matamu, kasih.

Yogyakarta, 8 Mei 2020

**
(16)
Malam
Selalu saja malam
Hujan diluar juga enggan reda
Seperti rindu itu
Selalu tersekat untuk bersua
Apa yang dirindu? Semua
Kampung halaman
Kawan lama
Keluarga
Kekasih
Mereka semua menjadi lalu lintas di belantara puisi
Menjadikan pepohonan indah di belantara hutan rimba
Menjadi bunga mawar yang bermekaran di pekarangan aksara

Yogyakarta, 9 Mei 2020

**
(17)
Di sela-sela langit kelabu
Terdapat ribuan bintang yang nampak lucu dan lugu
Berwarna terang menantang terik esok siang
Jauh dibawahnya
Mata-mata yang menyala berkedip menyemai bunga tulip
Menatap ragu
Tak menatap pilu
Terpejam tak syahdu
Awan hitam semakin temaram
Para bintang hilang lugu karena ditatap ragu
Kehilangan lucu karena diterjang awan hitam di langit yang kelabu
Tak lagi biru
Tak pula hitam
Entah sepertinya langit dan bintang nampak lebam-lebam
Satu-satunya
Berpejam merindu
Temui dengan canda hingga candu
Diatas segala langit biru
Kelabu
Cerah sekalipun
Pada-Nya mata-mata menyala jangan sampai redup

Yogyakarta, 10 Mei 2020

**
(18)
Puing-puing puisi berserakan
Terpecah pada benturan dahsyat rindu dan kenangan
Rindu dan kenangan seperti lelah setelah melakukan perjalanan jauh dari kampung halaman
Menuju suatu dataran bernama ingatan dan perasaan

Yogyakarta, 11 Mei 2020

**
(19)
Melihat wajah manusia malam tadi sungguh iba
Nada-nada kesombongan manusia lain masih berseru
Lugas tegas
Lancang dalam nuraninya yang pincang
Ditengah wabah
Berjalan dengan anaknya yang tabah
Bersepeda
Arungi kota Jogja
Harta di belakang sepeda menanti ibu dan anaknya bahagia
Diambilnya
Dipungut dari sampah
Lupakan para penyumpah
Harta itu jadi berkah
Wajah kusamnya memudar
Saat roda sepeda berputar
Menjual sampah hilangkan gelisah

Yogyakarta, 12 Mei 2020

**
(20)
Aku takut
Ada yang membuat hati terus bergetar
Tiba sekejap seperti petir menyambar
Gejolak itu tak mau menyingkap muaranya
Aku takut
Hati terus berdetak
Cepat melejit
Harus bagaimana atau dengan apa?
Aku takut
Tubuh gemetar mata sayu
Kopi habis dompet menipis
Tapi hati seperti menyuarakan suatu yang romantis
Aku takut
Takut pada perasaan
Seketika aku bersungkur
Ketakutanku
Ada pada kebahagiaan ku

Yogyakarta, 13 Mei 2020

**
(21)
Tuhanku
Aku sakit
Lupa arah dan tak faham gundah
Entah hidup
Entah mati
Semua kembali pada kenang
Meski sakit terasa di kening
Rasa pusing seperti di pasung
Tuhanku
Ampuni aku

Yogyakarta, 14 Mei 2020

**
(22)
Ketika sore itu
Bait-bait puisi berguguran dari matamu
Mengulang rasa yang hampir sirna
Menjulang ego yang mati dalam dekapan
Mari sejenak kita lupakan kala itu
Kini
Kita selalu kalah oleh kedaulatan rindu
Reformasi jarak menggugat detik yang terus berdetak
Sampai saat ini; doa adalah kendaraan yang indah untuk kita berdua

Yogyakarta, 15 Mei 2020

**
(23)
Dengan menyebut nama malam
Kumulai sajak ini dengan sedikit temaram
Perasaan hancur meradang
Melelang segala rasa dan karsa
Menerjang cinta dan kata-kata
Kau datang dengan kasih sayang
Bertahun-tahun telah menjadi renggang
Sana-sini bawa gunjingan
Manusiakah kita?

Yogyakarta, 16 Mei 2020

**
(24)
Aku tinggal di rumah yang unik dan lugu
Bangun tidur
Kabar ini dan itu datang dengan senyumnya
Senyum khas yang menawan
Senyuman dari lorong neraka?
Mungkin
Santapan setiap hari adalah kebohongan
Ketidakadilan
Bahkan obituari demokrasi
Inilah rumahku
Silahkan tertawa hahahihi sambil hisap rokomu
Komedi di rumahku
Tak ada tandingan
Kelas dunia

Yogyakarta, 17 Mei 2020

**
(25)
Kedua mataku lelah
Ketika malam ia menyala dengan tabah
Ketika terik ia terpejam dengan resah
Untuk menurunkan hujan
Kedua mata itu pun tak pernah gegabah
Mendungnya sering berlarut-larut
Hujannya tiba dengan carut-marut
Ketika melihat manusia
Kedua mata itu sedikit menangkap manusia itu sendiri
Ketika melihat dosa
Disitulah ia lihat apa itu manusia

Yogyakarta, 18 Mei 2020

**
(26)
Derai angin tersapu hujan
Jauh disana, bocah-bocah merintih dingin dan lapar
Jauh disana, penguasa-penguasa berdamai dengan kuasa
Sedang disini, manusia tak tahu harus berkehendak
Disini, tak ada yang tahu apa itu manusia
Disini, hujan dan airmata masih sama
Membasahi dahaga keangkuhan
Kesombongan
Kesewenang-wenangan

Yogyakarta, 19 Mei 2020

**
(27)
Perasaan setiap insan adalah hasil gubahan
Tergubah oleh irisan-irisan luka
Tergubah oleh irisan-irisan suka
Segala tak lepas dari hidup yang kadang mengharu-biru
Serupa bintang yang berkelip malu dibalik awan hitam
Tinggal bagaimana hati membalik yang kelam
Memasak adonan dendam
Lalu meracik bumbu tentram

Yogyakarta, 20 Mei 2020

**
(28)
Kepada manusia
Banyak belantara meradang
Hantu-hantu bergentayangan pada kerusakan
Rusak pada ulah yang bertulah
Hancur remuk dibalik beribu deru kecemasan
Manusia mulai merapal
Selaksa ratap di penghujung nafas
Raksasa neraka jelmakan diri menjadi kurcaci pikiran
Semua hina-dina
Mati tak berdaya
Hidup nan bergaya

Yogyakarta, 21 Mei 2020

**
(29)
Sejenak
Mari kita mengheningkan rasa
Meninggikan cinta
Sebab
Genderang akbar sebentar lagi akan ditabuh
Hari rindu terobati akan segera berlabuh
Tapi itu hanya hayal ilusi dalam sepi kami
Anak rantau yang tabah tak pulang ke rumah
Menjalani hari-hari dengan suasana ini itu
Mengharap pada sesama manusia agar sama memahami
Bahwasanya ada banyak jiwa yang kering kerontang ditikam kerinduan

Yogyakarta, 21 Mei 2020

**
(30)
Mulai malam nanti
Hingga esok hari
Genderang akbar segera ditabuh dengan tawa kebahagiaan
Takbir berkumandang menggemakan jagad raya
Satu per satu manusia memaafkan dan dimaafkan
Suci dan kembali suci berharap akan terus suci
Satu bulan penuh bersembunyi dari kedatangan nafsu
Satu bulan penuh meratap akan esok hari telah purna
Satu bulan penuh mengukir keabadian dengan puisi Tuhan
Aku
Tak ingin luapkan kerinduan melalui rumusan kedaulatan ego
Tak ingin hamburkan revolusi kecemasan
Tak ingin beranjak dari perisolasian nun jauh di perantauan
Aku
Bertahan dengan tabah sambil mengharap segala berkah
Memohon semesta seisinya sudi
Mengampuni segala ulahku
Yang tak sepi di ramai
Yang tak ramai di sepi
Lebaran ini
Liburan itu

Yogyakarta, 23 Mei 2020

________

Minal 'Aidzin Wal Faidzin mohon maaf lahir dan bathin

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

Sajak darah tinggi

Malam