Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Ruwet! Jangan Dibaca!

Gambar
Mohon jangan dibaca. jika dibaca, tanggung sendiri resikonya! konten mengandung sumpah serapah dan sedikit "Cangkem elek" rehartanto.net Tak pernah kita sadari, mengapa kehidupan ini berjalan dengan sangat cepat, sekaligus berjalan sangat lambat. Ya, jika ditarik asal muasalnya, semua ini hanya hitam-putih, atas-bawah, benar-salah, dan selalu kontradiksi. Tapi, saya kurang sepakat dengan pernyataan semacam itu. Pernah mendengar ungkapan Albert Camus? “Haruskah saya bunuh diri, atau minum secangkir kopi?” Perlahan mulai saya resapi sudut-sudut kegelapan dari kalimat tersebut, ternyata hidup ini tak ubahnya hanya medan peperangan yang tak mengenal kata gencatan. Dapat dipastikan, jika terdapat gencatan dalam peperangan tersebut, maka ada ketidaktepatan dalam prosedural kehidupan ini. “Peperangan? Perang apa? Siapa yang berperang?” “Ayo... terus lanjutkan omong kosong ini! Teruslah mengutuk kehidupan ini dengan sumpah serapahmu! Jadilah pengecut! Hanya DPR dan pejabat yan...

Malam

Gambar
  Gambar diambil di Baciro, Yogyakarta, 23 Agustus 2020. Pukul 02.53 Beberapa tahun terakhir, rasanya kehidupan saya semakin absurd. Pola hidup ideal−malam beristirahat, siang beraktivitas−seperti malu, bahkan jijik untuk berdamai dengan saya. Dengan perkecualian: ada jadwal kuliah, ada kerjaan, ataupun ada janji terhadap seseorang yang harus ditunaikan pada saat siang hari. Selain itu, semua aktivitas, selagi bisa, saya kerjakan malam hari. Entah mengapa, saya seperti merasa phobia matahari. Seakan-akan malam adalah waktu paling ideal untuk beraktivitas, seperti; melamun, menulis, atau apapun itu yang tentunya selalu ditemani oleh cangkir-cangkir kopi yang usang. Belakangan ini, saya sedikit mengerti mengapa malam memang selalu istimewa dan nyaman. Selain mengandung kesunyi-senyapannya yang paripurna, ternyata malam adalah salah satu nama waktu yang dijadikan Tuhan sumpah dalam Al-Qur’an. Setelah membaca tulisan Gus Usman Arrumy dalam buku “Anjangsana,” saya semakin tercerahkan, ...

Petaka Angka 3 (Cerpen)

Gambar
sumber gambar: satisya.blogspot.com .................       “  Namaku Salsabila Putri Febriani, mas. La sampean siapa nama lengkapnya?             “Oh jadi Sasa itu nama panggilan kamu ya?  Namaku Maulana Darojat. Panggil aja Lana” Tuhan memang maha indah. Begitu kiranya maksud dari sebuah hadits Nabi ‘ Innallaha jamiil wa yuhibbul jamal’ Allah itu indah dan menyukai keindahan. *** Kehidupanku selama menjadi mahasiswa semester akhir di kota Jogja ini memang begitu-begitu saja. ' kuliah-kost-kuliah-kost' begitulah siklus kehidupanku selama ini. aku terkadang merasa bosan dengan kehidupan yang begitu-begitu saja. Hingga pada detik ini, aku mengikuti sebuah seminar. Seminar yang terbilang spektakuler tersebut mempertemukanku pada sebuah makna keindahan yang dimaksudkan oleh Tuhan. “Kamu kenapa tho kok ngelamun aja?”  Seketika aku tersadar saat Darso menepuk pundakku ditengah acara seminar yang kala itu seda...

30 hari; Puasa dalam balutan Puisi

Menjadi manusia memanglah tak dapat melepas segala kerancuan dan topeng-topengnya. Selama satu bulan ini tak lain dan tak bukan hanya untaian kata-kata yang tertampung. Banyaknya kata-kata ini tak mampu jua menampung rindu yang berkelimdan kesana-sini serta kenangan jaman baheula yang menggores duka. Silahkan dinikmati: (1) Malam sungguh memberi deru Melalui angin dan desau sunyi Ia siarkan rindu yang hidup dari sebuah obituari Rindu yang tercekik oleh seorang manusia penuh durjana Ya, tepat beberapa tahun lalu Kita yang masih berumur jagung Menempati hari yang penuh huru dan hara Hanya dengan berpandangan sambil berharap nama kita tertulis pada surat undangan Tak habis-habisnya dirimu membius hati dengan senyum khas pribumi Tak habis-habisnya pula diriku mengharap rasa yang terbalas meski hanya kusanggupi melalui bait puisi Anganku terlalu jauh berkelindan dengan uban pertama di rambutmu esok yang kusaksikan dengan mata indraku Mimpiku terlalu lama merdeka dengan...

Surat Untuk lebaran Besok

Lebaran memanglah hari yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Setelah bersama-sama berperang dengan menyembunyikan nafsu, bergulat dengan lapar dan dahaga, serta berjarak dengan keduniawian melalui pembacaan puisi terindah dari Tuhan yakni Al-Qur'anul Karim. Hari yang ditunggu-tunggu itu pun telah nampak di penghujung bulan Ramadhan ini. Genderang akbar akan bersahutan dengan gema takbir yang menggetarkan semesta seisinya akan segera di dengungkan bersamaan. Rasa merdeka akan segera kita raih. Tapi, adakah kita telah merdeka seutuhnya? Aku rasa tidak. Tahun ini memang fantastis, penuh misteri, dan sungguh memberi makna lain dari pada tahun-tahun sebelumnya. Adanya pandemi ini membuat sedikit orang merasa bosan, sambat , risau karena tak bisa kemana-mana untuk sekedar ngopi, bersilaturahmi pada keluarga dan kerabat, tak ada buka bersama, tak ada halal bi halal, bahkan di beberapa daerah termasuk di tempatku kini tak ada masjid yang dibuka untuk tarawih dan sholat Ied. Betap...

5 Mei 2020: Ambyar yang paripurna dan pemberi warna

Gambar
Sumber gambar: minews.id Bertepatan 5 Mei 2020 Mentari yang belum genap diatas kita, sang legenda maestro campursari, the father of broken heart, atau yang dikenal Lord Didi Kempot telah menuju pada keabadian sejatinya. Deru haru menggulung hati para sobat ambyar se-antero Nusantara bahkan dunia. Beliau pulang menuju kehadirat Illahi dengan segala kenang dalam hati. Banyak sekali sobat ambyar yang merasa ambyar dengan purna. Ya, tepat 5 Mei 2020. Berita itu telah menyelinap ke dalam relung hati yang tak terukur dalamnya. Berita itu pula yang menusuk hati seketika kita sedang dalam keterpurukan; Keterpurukan oleh sakit hati itu sendiri.  Media massa dengan massif memberitakan dan para tokoh tak lepas dari ucapan. Betapa besarnya peran Sang Legend terhadap dunia seni musik dan relung hati masyarakat Indonesia. Didi kempot atau yang sering kita sebut Pak dhe; Lord; The father of broken heart sungguh banyak memberi kontribusi pada jiwa-jiwa rapuh terkhusus yang dirasakan...

Cerpen: Tamu itu Seorang Penjahit

“Peringatan! bahwa kedaulatan kopi dan rokok anda kali ini sudah mencapai batas maksimal. Silahkan berhenti dari ngopi, puisi dan menanti! Saatnya berpuasa, beribadah, dan menghindari maksiat dengan perlawanan di atas kasur!“             Begitulah kiranya masa-masa akhir setelah sahur dan alarm isyak telah terdengar dari toa musholla yang tak jauh dari tempatku. Sejak beberapa waktu kemarin, aku sungguh merasa tak nyaman dengan kehadiran tamu yang sungguh menjengkelkan. Tak ada yang mempersilahkan, tak ada pula yang mengundang. Ia tiba seenak hati dengan penuh kecemasan. Kemana pun aku berjalan ia selalu turut serta menghampiri. Tak pernah izin, tak pernah pamit. “Ah sialan…” gumamku dalam hati.             Beberapa pekan lalu ada pula tamu serupa tapi kehadirannya membuatku merasa nyaman dan tenang. Bila kutaksir, tamu waktu itu mengandung unsur keindahan senja kala i...