Petaka Angka 3 (Cerpen)

sumber gambar: satisya.blogspot.com

.................
      “ Namaku Salsabila Putri Febriani, mas. La sampean siapa nama lengkapnya?
            “Oh jadi Sasa itu nama panggilan kamu ya?  Namaku Maulana Darojat. Panggil aja Lana”

Tuhan memang maha indah. Begitu kiranya maksud dari sebuah hadits Nabi ‘Innallaha jamiil wa yuhibbul jamal’ Allah itu indah dan menyukai keindahan.
***
Kehidupanku selama menjadi mahasiswa semester akhir di kota Jogja ini memang begitu-begitu saja. 'kuliah-kost-kuliah-kost' begitulah siklus kehidupanku selama ini. aku terkadang merasa bosan dengan kehidupan yang begitu-begitu saja. Hingga pada detik ini, aku mengikuti sebuah seminar. Seminar yang terbilang spektakuler tersebut mempertemukanku pada sebuah makna keindahan yang dimaksudkan oleh Tuhan.
“Kamu kenapa tho kok ngelamun aja?” 
Seketika aku tersadar saat Darso menepuk pundakku ditengah acara seminar yang kala itu sedang berlangsung sambutan dari Rektor kampusku.
“Itu lo Dar, aku kok terbayang-bayang esem sama parasnya cewek yang tadi ada di depanku saat ngantri mau masuk ke ruangan ini”
“Kamu kenopo Lan? Serius kamu sekarang udah seneng sama cewek” sambil terbahak-bahak ia melontarkan itu padaku.
Memang selama ini aku mengakui bahwa terhadap wanita, hatiku masih kaku dan butuh bimbingan belajar khusus masalah percintaan. Baru kali ini hatiku berbunga saat melihat seorang wanita indah dengan senyum khas pribuminya dan paras seperti hayalanku terhadap bidadari surga.
“Serius ini Dar, aku tadi sempat berkenalan lo sama dia. Dia itu namanya Sasa, lengkapnya Salsabila Putri Febriani. Ternyata dia sama-sama satu kota lho sama aku Iho hehehe. Pas kan sama aku?”
“Wah kamu sekarang udah puber ternyata hahaha. Jangan Cuma buat bahan coli lo Lan. Kamu seriusi kalo emang kamu benar-benar suka sama dia. Cari tahu kontaknya, hubungi dia terus jalani hubungan sama dia. Semangat lah pokoknya! Tak dukung dari belakang langkahmu” 
Darso memang teman yang humoris, suka mengejek pula. Tetapi disatu sisi, ia selalu memberi dorongan terhadap apa yang sekiranya baik untuk langkahku kedepan.
“Oke Dar, bantu aku ya ntar buat dekati dia. Emang bener kata orang, pandangan pertama selalu memberi kesan lebih. Bahkan mengendap di alam bawah sadarku lo Dar. Padahal berawal dari 3 menit aku memandangnya sambil sedikit kenalan, eh taunya kesimpan dalam pikiran sama hatiku, hehehehe”
“Iya Lan, ndak popo kamu teruskan perjuangan revolusi cintamu yang telah lama kau kubur di dasar hati yang terdalam”
Seminar telah selesai dan perkataan dari Darso juga menutup acara seminar yang rasa-rasanya tak ada yang masuk sedikitpun dalam otakku. Karena pikiranku terbayang pada seorang wanita yang tadi baru saja kukenal dan Darso juga selalu menggojloki kisahku tadi. Meskipun terkadang membuatku jengkel, tapi Darso pula yang selalu mensupportku dengan keahliannya bercanda dan kepiawaiannya dalam bersastra.
            Hari sudah hampir petang. Seperti biasa sebelum aku balik kost, aku akan makan di warung pink belakang kampus bersama Darso dan beberapa temanku yang lain. Darso aku suruh tutup mulut terhadap kawan-kawan yang lain mengenai diriku yang sedang kasmaran. Jika saja teman-teman tahu, pasti setiap hari aku jadi bahan candaan mereka. Rasanya seperti dijajah oleh meriam yang pelurunya merupakan lontaran candaan yang mereka berikan. Ya begitulah pergaulan anak muda sekarang. Suka bercanda tak tahu batas, budaya bullyng sepertinya memang belum musnah dari muka bumi ini. Karena akulah salah satu korban yang tabah menghadapi hal semacam itu setiap hari.
***
            Tahun ini sepertinya liburan yang sangat berbeda. Sebelum pekan UTS kampus, seluruh media mengumumkan bahwa Virus Covid-19 yang berasal dari China telah masuk di Indonesia. Dengan begitu, semua kegiatan akan dirumahkan atau dengan kata lain semua kegiatan akan dilaksaakan secara daring. Sebelum benar-benar di lockdown, sepertinya aku juga perlu pindah dari kost. Kalau aku tetap di kost rasanya pasti akan sunyi-senyap menusuk sukmaku.
            Aku pun pindah ke kontrakan yang dihuni oleh 3 orang. Yakni aku, Darso, dan Udin. Lumayanlah setidaknya mempermudah diriku dalam urusan perut dan meringankan biaya kost yang sangat mahal per-bulannya. Dengan begitu, aku tak sendirian lagi di kost yang sunyi sambil memikirkan hal-hal yang tidak perlu.
            Tak terasa hampir 3 bulan sudah aku setiap hari, setiap saat, bahkan setiap detik mengingat-ingat keindahan Tuhan yang nyata bentuknya.
            “Oh Sasa…. Betapa manis esemmu kala itu”
 Selalu begitu khayalanku dikala gabut melanda diri ini. Setidaknya kini aku mulai bisa mengurangi khayalan-khayalan seperti itu semenjak tinggal di kontrakan Darso dan Udin. Ada teman untuk sekedar bercanda, teman menyeduh kopi, dan sesekali diskusi agak berat biar kayak mahasiswa pada umumnya yang gemar diskusi-diskusi mengkritisi ini itu meski sedikit aksi (tapi gak semua mahasiswa gitu kok) hehehe…
            Malam ini seperti biasa, kami bertiga ngopi ala kadarnya di depan kontrakan dengan kopi made in tangan sendiri dan sedikit gorengan dari ibu seberang kontrakan yang rutin memberi kami sedikit makanan setiap harinya. Mungkin beliau memahami kehidupan kami sebagai anak rantau yang minim perihal keuangan, apalagi perihal makanan.
            piye Lan? Gimana kabarmu sama Sasa?”
            “Ya gitu lah pokoknya”
Darso memecah kesunyian kami bertiga. Tapi pertanyaannya sangat mengganjal dan sungguh mengusik kedaulatan halusinasiku pada Sasa.
            “Gitu itu yang gimana to Lan? Aku kok nggak faham? Dengar-dengar dari Darso kamu suka sama cewek yang namanya Sasa..Sasa itu kan? Hayooo.. ngaku Lan”
            “Sialan Udin, ikut campur aja urusan kedaulatan kasmaranku ini” gumamku dalam hati sambil menyahut Udin dan Darso yang terbahak-bahak.
            “Ya wajar tho kalau cowok suka sama cewek.. wong hati ya hati ku. Ngapain kalian kok ribet”
            “emang udah dapat kontaknya dia?” enyah Darso yang seperti menyepelekan keseriusan gejolak kasmaranku.
            “Loh jangan main-main kamu, aku udah dapat ig nya lo Dar!” sahutku ketus.
            “Ig doang aja songongnya selangit… pernah chat dia apa belum kamu?”
            “Belum sih hehehe… Aku bingung harus mengawali chat kayak gimana?
Udin yang dari tadi sibuk main HP sendiri rupanya terkejut melihat jawabanku yang agak cengengesan. Tapi harus ku akui jika memang aku tak berpengalaman dalam mendekati perempuan. Jangankan perempuan, saat ada acara kumpul-kumpul sama tetangga pun aku terkadang canggung untuk memulai pembicaraan jika tak ada hal yang benr-benar penting untuk dibicarakan.
            “astaga… Lan.. Lan.. kamu itu udah gede. Masak gitu doang gak bisa? Apalagi kamu itu mahasiswa yang katanya agent of change, agent control social… Harusnya udah faham lah bagaimana bersosialisasi sesama manusia dan harusnya………” seketika omongan Udin disambar oleh Darso
            “nah itu, introvert ya introvert Lan.. Aku tau kok emang karakter kamu begitu, tapi harus tau konteks juga lah. Masa memulai chat sama cewek aja gak berani?” Darso memotong omongan Udin yang belum paripurna tadi.
            hmmm… iya juga ya.. tapi….”
            “Udahlah gak usah tapi-tapian. Langsung ajalah realisasikan. Nggak usah kebanyakan teori tapi nihil aksi” Seru Darso yang memang sering memotong omongan orang.
Kami bertiga pun kembali terdiam. Udin dan Darso fokus kembali pada HP nya dan aku masih memikirkan bagaimana aku mengeksplorasikan rasa kagumku terhadap wanita yang 3 menit berhadapan denganku hingga menari-nari di pikiranku hingga 2 bulan lebih kini.
            Dingin angin malam kian menusuk. Mataku mulai sayu dan kami terserang kantuk. Ngopi malam ini selesai dan kami menuju singgasana kapuk masing-masing. Sebelum memejamkan mata, kurenungkan lagi mengapa diriku begitu tertutupnya terhadap dunia luar. Mengapa aku tak memiliki keberanian melakukan hal yang bisa dibilang sepele, hanya memulai chat pada seorang wanita yang aku kagumi.
            “ah… sudahlah! Besok aku harus memberanikan diri untuk mengontak dia, syukur-syukur dapat kontak WA nya… hitung-hitung buat melatih mentalku agar setelah ini aku KKN dapat berjalan dengan lancar dan mudah bersosialisasi terhadap masyarakat…” Gumamku dalam hati sebelum aku tidur.
***
            Hari telah berganti dan suasana masih saja sepi, apalagi hatiku yang terisi bayang semu gadis cantik bagaikan peri. Hari ini kuberanikan untuk membuka diri untuk menghubunginya.
            “Apa kabar?”
Begitulah pesan yang kukirim padanya setelah melihat snapgramnya berpose bersama keluarganya. Sungguh menawan rupanya. Pikiranku kembali ngalor-ngidul. Aku membayangkan andai saja ada aku disana bersama keluarganya. Menggendong anakku dan Sasa yang imut dan lucu. Pasti sempurna sudah hidupku.
            1 jam, 2 jam, 3 jam, hingga 24 jam aku setia memantau pesan balasannya di instagramku. Tapi tak kunjung ada balasan darinya. Padahal dia baru saja posting snapgramnya beberapa menit yang lalu.
            “Dar..Darso.. aku udah balas snapnya dan nanyain kabarnya.. tapi kok nggak dibales ya? Dibaca aja nggak.. aku jadi khawatir kalo dia gak suka sama aku..” tanya ku pada Darso yang kala itu sedang nyantai sambil baca buku “Madilog”.
            “Cinta itu perjuangan bro..” jawabnya dengan tegas.
            “Kamu harus berjuang sampai titik penghabisan untuk mendapatkan cintanya.. percuma kalo baru sekali kirim pesan doang udah nyerah! Ingat kata Bung Karno; Jika menginginkan mutiara, maka harus terjun ke laut yang dalam” sambungnya dengan nada yang sok menggurui.
            “iya juga sih.. benar kata Bug Karno. Sasa itu mutiara bagiku.berarti aku harus terjun ke dasar lautan yang berupa keberanian untuk meraih hatinya”
            “Nah gitu udah ngerti kok.. terusin aja Lan.. pantang menyerah sebelum hatimu patah..hehehe
Benar juga apa yag dikatakan oleh Darso ini. Beruntug aku punya teman seperti Darso ini. Selain supportnya yang selalu mengalir, wawasannya yang luas juga selalu memberi motivasi tersendiri bagiku agar lebih tekun. Selain Darso, Udin yang terlihat cuek tapi juga memiliki rasa persaudaraan yang kuat terhadap teman-temannya. Karena mereka berdua pula pola pikirku yang awalnya sempit, tertutup, dan introvert bisa perlahan mulai terbuka.
            Hampir 2 minggu aku menunggu balasannya yang tak kunjung tiba. Entah memang dia tak mau membalas, ataukah pesanku tertimbun dibawah ratusan pesan cowok-cowok yang mengincar Sasa? Karena dengar-dengar dari teman sefakultasnya, Sasa memang menjadi seorang primadona di fakultasnya. Atau jangan-jangan dia sudah punya pacar?
            Pertanyaan-pertanyaan yang sedikit mengusik ketenanganku coba kulawan dengan memberanikan diri untuk menghubunginya kembali. Beruntungnya kali ini aku mendapat kontak WA nya dari pacar Udin yang sefakultas dengan Sasa.
            “Assalamualaikum.. Aku Lana. Save nomerku ya.. barangkali bisa saling membantu” (dengan emoji senyum) Aku hubungi dia melalui WA agar lebih mudah. Hitung-hitung untuk menghemat kuota juga karena kondisi pandemi seperti ini apa-apa sulit.
            Dengan tabah aku terus menanti jawaban darinya. Mungkin aku tak setabah Buya Hamka yang dipenjara oleh bangsanya sendiri, tak seberani Pramoedya Ananta Toer dalam menuliskan kegelisahannya selama menjadi tahanan politik di masa orde baru. Tapi aku memiliki kesabara menanti notifikasi dari Sasa, dan aku telah memiliki keberanian untuk mencoba mendekatinya meskipun tak juga dibalas. Semoga saja ada titik terang.
            Pagi setengah siang aku bangun dari tidur dan melihat ponselku. Betapa terkejutnya aku.
            “Dar…Darso.. Udin… Pesanku dibalas sama dia”
aku sungguh berbunga-bunga. Aku yang bangun tidur belum sempat mandi dan gosok gigi seketika sudah sepenuhnya semangat dan perutku otomatis kenyang. Padahal sejak kemarin siang aku belum makan nasi.
            “hissss.. kamu ini rame ae!” Udin nampaknya agak jengkel. “Emang dibalas gimana sama dia?”
            “Waalaikumussalam..iya Mas Lana.. Begitu Din jawabnya”
            “Yaudah tho kalau gitu.. lanjutin aja, aku mau tidur.. “
Udin sepertinya belum tidur dari semalam, dilihat dari cara menjawabnya yang bernada malas dan matanya memerah. Sedangkan Darso malah belum bangun dari tidurnya.
            “Dasar kebo…” Gumamku dalam hati.
            Betapa bahagianya aku hari itu. Hingga bingung dijawab bagaimana. Kubiarkan saja pesannya sambil terus mengarungi euforia atas balasan darinya.
***
            Semester baru ini siklus kehidupan mahasiswaku sudah harus berubah. Sejak kemarin aku, Darso, dan Udin mengikuti bimbingan persiapan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Hari ini pembagian kelompok dari masing-masing mahasiswa yang mengikuti KKN. Kami sedikit sedih sebab tahun ini pelaksanaan KKN harus daring, berhubung pandemi yang masih belum tamat riwayatnya.
            Pembagian kelompok KKN ternyata berdasarkan daerah asal mahasiswa. Untuk sistematisnya akan dibahas pada pertemuan minggu depan melalui webinar.
            “Wah.. ternyata kamu juga ada di grup KKN sama aku ya mas”
Seperti mimpi, tiba-tiba Sasa mengirimi aku pesan pribadi seperti itu. Setelah aku cek, ternyata mahasiswi atas nama Salsabila Putri Febriani satu kelompok KKN denganku. Ingin sekali kubagi kebahagiaanku kali ini kepada Darso dan Udin, tetapi mereka nampaknya juga sedang sibuk terhadap persiapan KKN mereka.
            “Wah.. barengan dong” Tulisku dalam chatroomnya. “Gimana kabarnya? Keluarga sehat kan?”
Terlihat Darso dan Udin sudah leyeh-leyeh di teras depan seperti biasanya. Hal itu pun kuceritakan pada mereka. Setelah kujelaskan, mereka nampaknya turut bahagia melihat hubunganku dengan Sasa yang nampaknya akan segera menemukan benang merah yang jelas.
            “Alhamdulillah sehat semua mas… “ Belum sampai selesai kubaca habis pesannya, aku termangu. Terkejut sekaligus tak percaya.
            “Din.. lihat si Lana, kok tiba-tiba murung. Kenapa Lan? Tanya Darso memecah keterjutanku membaca pesan dari Sasa.
            “Sasa Dar.. Sasa itu lo” Mulutku terasa berat ingin menyampaikannya.
Udin menyeringai, “Iya Sasa kenapa Lan? Jangan gagap kamu itu!”
            “Sasa udah punya anak..” Jawabku dengan nada sendu. Sungguh menandakan bahwa aku nampak patah hati.
            “Loh.. Jangan ngarang kamu Lan!”
            “Lah kok bisa? Yang bener aja kamu Lan!” Udin menambahi.
            “Iya beneran bro… ini lo aku bacakan pesanku tadi” sahutku
            “Sebelumnya kan aku nanyain kabar kondisinya sama keluarga, eh dia malah balas kayak gini…”
            (Balasan pesan dari Sasa)
“Anakku juga sehat kok”
“Ya respon tho aku terkejut terus tak tanyain gini: Emang udah punya anak…”
(Balasan dari Sasa)
            “Sudah mas.. Usianya udah 3 bulan”
            “Ya begitu ceritanya… Siapa coba yang gak kaget?” Ujarku dengan nada kesal dan kecil hati.
            Duh Gusti… miris banget tho kisahmu Lan..” Darso mencoba menenangkanku sambil menepuk-nepuk pundakku.
            “Udah Lan.. hidup itu memang seni melawan. Melawan kesengsaraan, melawan nafsu, termasuk melawan harapanmu yang karam setelah 3 bulan menantinya” Udin juga tak tinggal diam, dia mencoba menyemangatiku yang perlahan meneteskan air mata.
            Aku sudah tak tahan lagi. Sia-sia rasanya semua ini.
            “Udahlah, aku mau menenagkan diri di kamar dulu…hiks..hiks” Sambil berjalan, aku ucapkan pada mereka bahwa aku ingin menyendiri dan tak terasa air mata hujan dari kedua mataku.
            “Lan.. Lana..”
Tak kuhiraukan panggilan dari Darso.
“Biarin Dar, Lana butuh waktu untuk mengistirahatkan sakit hatinya” Ujar Udin pada Darso “Aku pun bila di posisi Lana pasti syok.. bayangin aja awal kali bertemu, awal kali jatuh hati, tiba-tiba dia yang disukai udah punya anak tanpa sepengetahuan Lana..” Terdengar Udin melarang Darso untuk memanggilku dan membiarkan aku untuk menenangkan diri.
iyawes… kasihan juga Lana” Sayup terdengar lirih suara Darso dari dalam kamarku.
***
Hatiku rapuh, mentalku tak lagi utuh. Harapan dan khayalan untuk bahagia bersama Sasa musnah sudah. Aku merasa hidup ini sia-sia sudah. Setelah kugali informasi saat itu juga, ternyata Sasa memang sudah bersuami dan telah memiliki anak berumur 3 bulan. Selama ini aku tahu mengapa ia awal-awal dulu tak membalas pesanku. Ingin rasanya aku mati muda saja. Memang benar  yang dikatakan Soe Hok Gie dalam bukunya ‘Catatan Seorang Demonstran’:
“Beruntunglah mereka yang tidak pernah dilahirkan. Lalu, dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah mati berumur tua”
Kini tak ada lagi pengharapan bagiku. Sedari siang tadi sampai malam ini pun aku tak keluar dari kamar sama sekali. Hanya merenung di kamar. Terus bertanya-tanya apa arti dari hidup ini. Begitu besarkah harapanku terhadap gadis itu? Hingga begini pun aku sudah tumbang dan merasa gagal dalam melewati hidup.
Hanya pasrah, merenung, dan mencoba tabah. barangkali ada petaka dibalik angka 3. Sebab 3 menit aku bertemu dengannya, 3 bulan kukumpulkan niat untuk menghubunginya, dan 3 bulan pula ia kabarkan usia anaknya dengan suaminya.
“Semoga aku diberi ketabahan dalam menghadapi trilogi angka 3 itu Ya Rabb…
Doa terakhir sebelum aku tidur dan tak tau apakah esok aku masih bisa bangun lagi.
Yogyakarta, 20 Juni 2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

Sajak darah tinggi

Malam