Ruwet! Jangan Dibaca!

Mohon jangan dibaca. jika dibaca, tanggung sendiri resikonya! konten mengandung sumpah serapah dan sedikit "Cangkem elek"

rehartanto.net


Tak pernah kita sadari, mengapa kehidupan ini berjalan dengan sangat cepat, sekaligus berjalan sangat lambat. Ya, jika ditarik asal muasalnya, semua ini hanya hitam-putih, atas-bawah, benar-salah, dan selalu kontradiksi. Tapi, saya kurang sepakat dengan pernyataan semacam itu.

Pernah mendengar ungkapan Albert Camus? “Haruskah saya bunuh diri, atau minum secangkir kopi?” Perlahan mulai saya resapi sudut-sudut kegelapan dari kalimat tersebut, ternyata hidup ini tak ubahnya hanya medan peperangan yang tak mengenal kata gencatan.

Dapat dipastikan, jika terdapat gencatan dalam peperangan tersebut, maka ada ketidaktepatan dalam prosedural kehidupan ini. “Peperangan? Perang apa? Siapa yang berperang?”

“Ayo... terus lanjutkan omong kosong ini! Teruslah mengutuk kehidupan ini dengan sumpah serapahmu! Jadilah pengecut! Hanya DPR dan pejabat yang hidupnya nyaman bergelimang harta! Orang seperti kita tak pantas hidup bernyaman-nyaman! Teruslah melarat dan mengapung meski Si Keparat terus mengepung!”

***

Acapkali teramat banyak hal-hal yang perlu dipertanyakan dalam hidup ini. Makian, kutukan, dan segala sumpah serapah juga perlu dimuntahkan untuk memberikan sedikit warna pada kehidupan.

Eiitsss... Kembali pada fokus pembahasan” Perang? Gencatan? Kehidupan? Hitam-putih? Beberapa pertanyaan itu tak pantas untuk dijawab dengan jawaban, baik praktis maupun teoritis. Alangkah baiknya, pertanyaan itu dijawab dengan pertanyaan. Seimbang, bukan?

Oke, perlahan kita pertanyakan lagi. Ayo, damailah! Jangan terus mengoposisi! Kita satu fragmen, lho. Jadi, Apa yang berperang? Senjata apa yang digunakan? Di mana titik peperangannya?

Bukankah diri kita selalu berperang? Bagaimana kita tahu bahwa kita sedang berperang? Apa yang kita perangi? Kebijakan DPR? Negara? “Sebentar... sebentar... jangan jauh-jauh ke DPR dan segala tetek-bengeknya dulu. Itu terlalu kompleks!” Lantas apa? Perang melawan kehidupan?

Ketika peperangan telah usai, apakah telah ada jaminan bahwa engkau bahagia? Adakah kebahagiaan yang perlu kita capai tanpa peperangan? Atau, gencatan senjata dari peperangan itu sebuah bentuk minimalis dari kebahagiaan? Adakah kebahagiaan sejati? Kapan adanya? Atau hanya janji-janji manis seperti yang dilontarkan oleh orang-orang yang fotonya terpampang pada poster 5 tahunan itu?

***

Sudahlah! Saya semua pertanyaan ini tak akan ada habisnya. Setebal apapun kitab Das Capital milik Mbah Karl Marx, mungkin akan lebih tebal lagi pertanyaan-pertanyaan remeh seputar kehidupan ini yang tak mengenal arti berhenti.

Tapi, perasaan saya mengatakan, masih ada yang ganjil. Sepertinya yang ganjil adalah mata kita. Mata yang hanya melihat warna hitam dan putih. Apabila warna hitam sudah pasti buruk, lalu warna putih pasti baik dan suci. Siapa yang mengajarkan demikian? Sempit sekali mata kita. Jangan-jangan, hanya karena memiliki sepasang mata−kanan dan kiri−kita jadi menangkap semua realitas hanya dengan dua sisi yang berseberangan?

Jika kita refleksikan dengan fenomena-fenomena yang ada di Indonesia baru-baru ini, rasanya teramat banyak mata yang hanya memandang warna hitam-putih, lho. Padahal masih ada warna merah, biru, kuning, hijau, dan lain-lainnya.

Bukankah baru-baru ini terjadi peperangan dimana-mana? Perang antara orang banyak melawan kebijakan yang tamak; perang antara yang melarat melawan konglomerat. Waduh, ruwet sekali, ya?

Sangat konyol juga ternyata peperangan di jalanan tersebut. Bisa-bisanya, jika terdapat kerusuhan, media-media selalu saja menuliskan bahwa aksi tersebut “ditunggangi” anarko. Emang anarko suka menunggang? Atau jangan-jangan tidak mengetahui apa itu anarko?

Lucu-lucu memang. Suntuk. Rumit. Runyam. Ya, itulah kalo terus-menerus dipertanyakan. Tapi, juga asyik juga jika terus digali sampai pucuk. Pucuk? Seperti apa pucuknya? Adakah orang yang sudah pernah menggsli sampai ke pucuk tersebut? Oh, tentu ada. Mereka-merak yang tinggal di bawah batu nisan itu, lho. Mereka semua penggali-penggali kehidupan yang telah sampai ke pucuk.

Daripada ngalor-ngidul, mending ngopi aja. Jangan bunuh diri, lho, ya. Oh, iya, saya menulis ini dalam keadaan tidak sadar. Jadi nggak jelas dan nggak pantes untuk kalian baca.

Eh... eh... kok tapi kamu sadar, kalo menulis dalam kondisi nggak sadar? Udahlah. Lupakan. Asu. jingaannn. 

Yogyakarta, 14 Oktober 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

Sajak darah tinggi

Malam